BOLA DAN RUMAH
Israfil bergegas naik ke langit tujuh, menemui Tuhan. Ia bersimpuh
di balik tirai dan awan yang pekat. Buru-buru ia menggedor pintu langit ke
tujuh, perlahan langit membelah menyingkapkan pintu buat Israfil. Di langit ke
tujuh itu ada sesuatu yang aneh, tak ada sinar matahari yang senantiasa setia
berputar pada gugusan hari, tak ada dingin yang menggigilkan tubuh, tak ada
panas yang mengeringkan daun, tak ada juga kerlap warna yang cerah maupun yang
redup, yang ada barangkali hanya sesuatu mirip mega merah yang semburat
menghiasi putihnya langit tanpa ufuk.
Israfil terus
bergegas berlari dengan laju dan kecepatan tak ada yang menandingi, meski
kecepatan cahaya sekalipun. Ia berlari dan berputar-putar mengelilingi langit
ke tujuh untuk mencari Tuhan, dari arah paling utara, sampai menuju arah paling
selatan, dari arah paling timur, sampai menuju arah paling barat, tapi yang ada
hanya kekosongan. Ya, hanya kekosongan, dan dalam kekosongan itulah barangkali
Tuhan memang bersemayam, bersemayam pada tempat yang paling sunyi, sunyi
sekali.
Israfil sudah tak
tahan lagi menyimpan sederat kekacauan pikirannya yang berjubal, sebuah pikiran
yang tak bisa dilipat oleh waktu, maka segeralah ia ingin menghaturkan
kekacauan itu kepada Tuhan. Dzat pemilik segala ruang dan waktu. Ia kecewa
telah mencarinya hingga mencapai langit ke tujuh, karena di langit itu, ya, di
langit itu ternyata yang ada hanya kesunyian yang nyinyir. Maka, kali ini ia
sudah merasa tak perlu lagi untuk menemui Tuhan, Tuhan toh tetap ada di mana
saja, kapan saja.
Dalam kesunyian
seperti itu, seperti ada isyarat yang ditangkap oleh Israfil. Ia tahu persis
isyarat itu, isyarat dari Tuhan, Tuhan yang maha mendengar. Israfil kemudian
bersujud dan bersimpuh kepada-Nya.
Mendengarkan
firman yang suci.
"Ada apa
wahai Israfil?"
"Iya, ya
Rahman, ya Rahim."
"Engkau
nampak gugup, sekiranya ada berita yang penting?"
"Iya. Ya
Rahman, manusia sekarang, ummat Muhammad sudah mulai lupa dengan ayat-ayat di
dalam kitab sucinya."
"Bukankah
berita demikian sudah tak asing lagi?"
"Ya Rahman,
tapi kali ini, kali ini sungguh keterlaluan."
"Keterlaluan
bagaimana?"
"Ya Rahman,
ayat-ayat-Mu itu sudah berganti dengan permainan manusia."
Tuhan mendengar
berita dari Israfil, lalu tersenyum. Israfil masih dalam sujud dan simpuhnya,
berdzikir atas nama-Nya, tak lama Tuhan menjawab: Engkau si Israfil, urusan
manusia terlalu dipikirkan. Bukankah sudah Aku katakan padamu sejak pertama
kali Aku ciptakan manusia di muka bumi, ia memang suka bersekutu dengan setan,
karena telah bersekutu itu maka manusia suka bermain-main dengan kemewahan dunia,
bermain dengan darah, bermain dengan nyawa, bermain dengan kekuasaan yang
saling tikam, bermain dengan tertawa yang terkekeh-kekeh hingga lupa
asal-usulnya yang hina. Karena itu, karena itu Israfil, jangan kau perdulikan
lagi urusan manusia yang semakin lupa fitrah, tugasmu, iya tugasmu pada suatu
hari nanti, kalau memang sudah tak ada lagi yang mengingatku, kau tiup itu
sangkakala, dengan begitu segala sesuatu yang diperbuat manusia di dunia, sudah
tak kan kau lihat lagi.
"Ya Rahman,
tapi aku sudah tak sanggup melihat permainan manusia, yang akhir-akhir ini
sunguh keterlaluan."
"Lalu apa
maumu?"
"Ya Rahman,
aku sudah tak sabar untuk meniup sangkakala ini."
"Apa kau tak
melihat di pojok sebuah rumah yang kumuh sana masih banyak orang yang
mensucikan nama-Ku, di lorong-lorong dan di kolong-kolong ada dzikir dan tahmid
yang tak pernah berhenti."
"Tapi ini,
Tuhan, lebih dari separuh bumi ribut dan bergegap gempita soal benda bulat yang
bernama bola."
"Iya aku
lebih tahu itu, aku sudah memperhitungkan."
"Maaf, ya
Rahman, aku mohon agar engkau member kebijakan padaku, untuk mempercepat tiupan
ini."
Israfil masih
bersujud, dan sedikitpun tak berubah. Ia terus berdzikir, bertasbih, bertahlil
dan memuji-muji nama-Nya.
***
Tuhan mendenger
keluh Israfil, yang ingin mempercepat tiupan sangkakalanya. Namun, bagaimanapun
Tuhan tak pernah lupa janji pada manusia, bahwa sangkakala tak akan ditiup
seenaknya oleh Israfil. Bukankah pada malam yang pekat masih ada sebuah kamar
redup dengan bibir dan jantung yang berdetak menyebut nama-Nya. Pada sebuah
pagi yang buta, masih ada subuh yang tak hilang. Pada majlis yang lengang,
masih ada perjamuan-perjamuan yang membahas ayat-ayat-Nya, meski terus tandas
dan semakin susut, masih ada bau firman yang mengepul di pojok sebuah surau.
Masih ada beranda yang menyimpan sejuk nama Nabinya Muhamad saw. Dan,
suara-suara takbir dengan menggema, menyentuh langit dan menyelimuti matahari.
Masih ada yang melafalkan huruf-huruf al-Quran, merangkai dalam gelap, meski
dengan suara yang latah.
"Hari ini
mari kita saksikan, ya Rahman.."
"Aku lebih
menyaksikan."
"Maaf, ya
Rahim, aku sekedar berkata pada diriku sendiri."
"Bagaimana?
Coba katakan."
"Di bumi, Di
bumi ada permainan baru, yang amat lucu."
"Ada apa di
bumi, terangkan lagi, meski aku lebih mengetahui."
"Ada benda
bulat yang bernama bola, berputar-putar di ujung kaki manusia dan saling
berebut benda itu, dan sorak-sorai manusia. Aduhai menggemparkan seluruh ujung
dunia, melebihi perang Badar dan Uhud, bahkan perang Salib sekalipun. Apa arti
semua ini, kalau bukan perseketuan dengan setan."
"Adakah yang
mengingatku saat itu?"
"Ya Rahman,
Engkau lebih mengetahui dari aku."
"Tapi
bagaimana pendapatmu?"
"Ya Rahman,
para profesor, dan para ilmuwan sudah banyak yang menjadi ahli tafsir benda
bulat itu."
"Lalu
kitab-Ku bagaimana?"
"Ya Rahman,
maaf, ayat-ayatMu hanya sedikit sekali yang dimengerti, orang-orang pintar
sudah terjebak dengan permainan benda bulat itu."
"Berarti bola
itu sudah mengalahkan pesan-pesanku?"
"Ya Rahman,
barangkali seperti itu."
"Panggil
Muhammad, wahai Israfil, dan mintalah pendapatnya."
***
Muhammad, sebagai
Rasul yang mengajarkan hikmah, dipanggil Israfil dengan tergesa, dalam
persemayamannya, di surga yang paling sunyi.
"Ada apa
wahai Malaikat Israfil?"
"Aku perlu
membicarakan sesuatu kepadamu, wahai Rasul yang mulia, tentang ummatmu."
"Tentang
ummatku?"
"Iya, tentang
ummatmu."
"Ada apa
dengan ummatku?"
"Sungguh
mereka telah lalai, benar-benar lalai dengan pesanmu."
"Betul,
sebagian mereka memang dzalim dan kafir"
"Bukan
sebagian, tapi hampir semua. Untuk itu, izinkan aku akan mempercepat
tiupanku."
"Bagaimana
bisa, usia bumi belum ada tanda-tanda selesai?"
"Kau tahu
wahai Rasul yang bijak, di bumi, ya, di bumi ini ada permainan baru manusia.
Permainan itu bernama bola, dan hampir semua penghuni bumi ribut soal benda
bulat itu. Kau tahu betapa bangganya ummatmu bila bisa memasukkan benda bulat
itu ke gawang yang dibikin sendiri, ia bangga dan sudah merasa menjadi syahid,
dan kau lihat itu jutaan manusia menangis, berduka dan gembira, sombong dan
merasa terhina karena benda bulat itu, bagaimana ini?"
"Barangkali
sebab manusia diberi akal dan nafsu."
"Ah, tapi apa
hubungannya benda bulat itu dengan akal? Bola, dan bola yang berputar-putar di
kaki pemain bola, bagai kaleng kosong yang ditendang kaki melambung ke langit
dan jatuh lagi ke bumi. Tiada arti
sama sekali.
Mengapa semua manusia saling berebut dan merebut bola, dan ketika salah seorang
mendapatkan, lalu bisa menguasai sampai ke gawang lawan, dia menjadi bangga
seperti raja yang bisa menguasai prajurit? Kemudian disusul lagi dengan sorak
sorai lautan manusia yang padat, dan dengan berita yang menggemparkan bagai
berita perang. Permainan apa semua ini, dengan mempercepat meniup sangkakala,
bukannya ini lebih baik?"
"Sebelum
memutuskan, wahai malaikat Tuhan, Israfil, sebelum segera engkau lipat bumi,
bumi tempat berpijak manusia, sebelum engkau letuskan gunung, dan satukan laut,
sebelum engkau belah langit, sebelum engkau kosongkan alam, sebelum kau
runtuhkan matahari, dan bertabrakan dengan rembulan, menjadi debu yang
berkeping, sebelum engkau persiapkan nafasmu untuk meniup sangakakala yang
menggetarkan itu, beri kesempatan sejenak pada manusia untuk mencari hikmah di balik
permainan baru itu."
"Ya Rasul,
sudah beribu-ribu manusia yang menghabiskan umurnya hanya untuk bermain dengan
benda bulat itu. Padahal, ya Rasul, hidup hanya dimiliki manusia sekali, iya
sekali saja, bukankah ini sungguh keterlaluan?"
"Iya betul,
tapi izinkan manusia mencari hikmah di balik permainan itu, bukankah kehidupan
manusia itu sendiri adalah permainan?"
"Karena
itulah manusia sungguh terlalu, ia selalu asik bermain dalam permainan, apa
maksud semua ini?"
"Aku memang
manusia, dan akulah ahlu al-hikmah itu."
"Apa yang kau
maksud?"
"Barangkali,
ya barangkali saja, sebuah bola, permainan baru manusia itu, adalah sebuah
perumpamaan. Iya, sebuah perempamaan bagi Ahlu al-hikmah, bahwa bola bagaikan
bumi yang berputar-putar, bumi yang berputar itu perlu dipegang, dan dalam
memegangnya perlu strategi dan siasat, bukankah demikian kenyataan hidup
manusia? Jika manusia ingin menguasai bumi berarti harus lincah memainkan bumi.
Adakah, adakah seseorang pemain akan menendang jauh melintang ke tengah lapangan
atau mengoperkan ke temannya, atau membuang ke luar lapangan untuk
menyelamatkan, atau menggiringnya sampai kedepan gawang lawan dan akhirnya
goollah yang ia maksudkan. Lantas penonton yang mendukung bersorak sorai
mengagumi keberhasilannya. Sedang lawan dan pendukungnya akan menangis.
Barangkali di situlah gambaran kehidupan nyata manusia, antara tangis dan
tertawa hampir tak ada batas, sangat tipis, tipis sekali"
"Lantas?"
"Bukankan
manusia lahir, karena bapak dan ibunya telah 'bermain bola', dan Tuhanlah
satu-satunya yang memberi dukungan itu. Kalau tidak ada yang menang dan
mendukung dari permainan itu, mana mungkin ada manusia, dan, suatu saat kalau
sudah sampai pada waktnya, saat Tuhan sudah tidak mendukung, berarti permainan
bola dihentikan, kemudian seorang pemain bola akan tidur berbantalkan bola
bulat dari tanah.”
"Sungguh aku
mengerti wahai al-Amim, tapi, ah...tapi tetap saja bermain dan besekutu dengan
setan bukan?"
Tak ada lagi
percakapan. Langit sunyi dan lengang. Israfil kemudian sujud kepada Rasul, lalu
ia pun beranjak pergi dan menutup pintu langit ke tujuh, juga menutup denyut
ketidaksabarannya.
Lantas Rasul
mengingat satu persatu kalimat Israfil, sebuah kalimat yang baru dan aneh, yang
diberi nama bola, dan segera melintas pergi dari langit ke tujuh. Begitu pun
Israfil, ia selalu mengenang keagungan aura Muhammad, kelembutan tutur kata dan
air mukanya yang menyejukkan melebihi desir angin pasir yang menggerakkan
daun-daun ilalang pegungan di bumi. Kalimat-kalimat yang terucap dari bibirnya
begitu menggetarkan, bibir yang menyimpan ilmu Rahman dari setitik air laut.
Kedatangan Rasul
memang bisa mengharumkan langit dan menyisakan ketenangan pada ujung ruang di
manapun. Tak ada lagi alasan untuk mempercepat sangkakala. Esok adalah padang halimun
yang membuat fajar berbagi cerita pada langit dan bumi, dan siapa tahu hikmah
bermain benda bulat itu akan segera mewujud pada jagat manusia, meski tak bisa
dipercakapkan lebih panjang pada Israfil.
Akal dan Tuhan
|
Oleh LMINU
|
Senin, 22 Maret 2010 19:28
|
Al-hamd li Wâhib al-‘Aql wa
Mubdi’ih, wa Mushawwir al-Kull wa Mukhtari’ih, Kafâ Ihsânuh al-Qadîm wa
Ifdlâlih, wa al-Shalah ‘alâ Sayyid al-Anbiya’ wa Ashabih. (Abi Nashr al-Farabi).
Memahami Tuhan, merupakan
keniscayaan yang bermula dari argumen eksistensi Tuhan.
Karena kedua hal tersebut
merupakan “fase”, dimana tak akan mampu memahami esensi Tuhan, sebelum
meyakini bahwa Tuhan ada. Argumen pembuktian eksistensi Tuhan sendiri
terklasifikasi menjadi tiga; kosmologi (al-dalîl al-kawnî), ontologi (al-dalîl
al-wujûdî), dan teleologi (al-dalîl al-thabî’i al-Lâhûtî). Ada
argumen keempat yang tidak dimasukkan pada daftar argumen, karena ia berdasar
pada kesepakatan universal dan tidak didasarkan pernyataan logis; bahwa Tuhan
ada, namun tanpa disokong oleh argumen lain. Tak pelak, terdapat perdebatan
yang cukup akut bahkan dalam setiap macam argumen tersebut. Saling kritik dan
menunjukkan kelemahan. Lebih jauh, Hume menyatakan kegagalan tiga argumen
tersebut, yang pada akhirnya mengantarkan pada skeptisisme. Penulis di sini
bukan ingin mengetengahkan perbedaan paradigma terhadap pembuktian eksistensi
Tuhan. Hanya ingin berangkat dari sebuah pijakan, Tuhan itu ada. Aksioma yang
tentunya kita sepakati bersama.
Merupakan hal yang naluriah,
seperti ungkap Ramadhan al-Bhouti, manusia pasti berupaya untuk mengetahui
hakekat Tuhan. Mengimani zat yang “Ada” namun tak diketahui (majhûl),
bagi sebagian orang tentu akan menjadi beban. Apalagi untuk iman yang
menuntut totalitas. “Sebagian orang” yang merasa terbebani akhirnya memilih
menggunakan akalnya untuk menyelami esensi Tuhan. Ketika menelusuri beberapa
buku teologi, penulis hampir tidak menemukan penjelasan hakekat Allah. Allah
hanya didefinisikan sebagai zat tunggal, transenden (al-Muta’âlî),
serta yang menciptakan segala hal. Ia juga yang diistilahkan --seperti bahasa
Aristoteles-- sebagai al-Muharrik al-Awwal (penggerak
pertama). Atau sebuah definisi komunal, Allah adalah sesembahan semua manusia
(ma’bûd al-jamâ’ah). Descartes mengatakan, Allah adalah wujud sempurna (al-Wujûd
al-Kâmil). Namun semuanya ini berlaku tatkala dibenturkan pada segala hal
selain Allah yang berfungsi sebagai pembanding. Ketika manusia berawal
(hâdis), maka Allah tak berawal (qadîm). Atau saat Alam raya tersusun
dari jism(corpuscle), maka Allah tak mungkin tersusun dari jism. Dan
seterusnya.
Tuhan yang “majhûl” berkonsekuensi
memunculkan perbedaan pemahaman terhadap hakekat Tuhan. Tuhan, menurut
Mujassimah, adalah Tuhan yang berupa jism (corpuscle). Perbuatan Tuhan
diandaikan dengan fenomena yang terjadi pada manusia. Satu bukti konkret
dipaparkan oleh al-Asy’ari dalam Maqâlât al-Islâmiyyin tatkala
menyebut Hasyim bin Salim yang mengatakan Tuhan serupa dengan bentuk manusia,
namun tak mempunyai darah dan daging. Perspektif semacam ini pertama kali
muncul di tangan Syi’ah Rafidlah, kemudian diteruskan –menurut sebagian
kalangan Asy’ariyah—oleh Ibnu Taymiah, dan yang kemudian menjelma menjadi
Wahabiyah. Tuhan menurut Mu’tazilah adalah Tuhan yang tidak mempunyai atribut
(al-sifhât) tanpa meneruskan untuk menyelami esensiNya. Pandangan ini pertama
kali muncul dari mulut seorang Jahm bin Shafwan. Oleh karena itu Mu’tazilah
kadang disebut dengan nama Jahmiyyah. Sedang Tuhan menurut Asy’ariyah adalah
Tuhan yang mempunyai atribut dengan bermacam klasifikasinya, yang jika
ditelusuri alur logikanya sangat mungkin sampai pada penyerupaan (tasybîh).
Karena terlalu banyak berbicara tentang sifat dan hampir ke arah tasybîh,
Asy’ariyah –oleh beberapa filsuf—dikatakan sebagai Shifâtiyyah.
Jika kita lacak pada literatur Mu’tazilah ataupun Asy’ariyah, keduanya tak
menawarkan konsep konkret tentang Tuhan. Namun hal ini dapat dimaklumi,
karena latar munculnya kedua sekte tersebut lebih bersifat apologetik.
Fenomena sangat menarik pun
terjadi di sini. Tuhan yang dikonsep melalui penalaran, namun selanjutnya
disalahkan pula oleh penalaran. Penalaran Mu’tazilah terhadap Tuhan berani
memfalsifikasi penalaran Asy’ari; Penalaran Asy’ari terhadap Tuhan berani
memfalsifikasi penalaran Mujassimah atau Syi’ah; Lebih jauh, penalaran
teologis berani memfalsifikasi penalaran filosofis. Pun sebaliknya.
Ironisnya, falsifikasi penalaran terhadap penalaran yang lain kemudian
dikemas dengan kata “kafir”. Padahal penalaran merupakan sebentuk konsepsi
manusia yang tak berkaitan dengan agama. Jika masing-masing mendaku
penalarannya selaras dengan agama sehingga berwenang mengemas falsifikasi
penalaran yang lain dengan kata “kafir”, maka penulis pun layak untuk
bertanya, apakah Tuhan pernah mendefinisikan diriNya sendiri? Paling jauh,
jawaban yang nantinya muncul hanya berkutat pada “indikasi-indikasi” yang
tersurat dalam dua teks otoritatif Islam. Padahal, ketika berbicara
“indikasi”, baik Mu’tazilah, Mujassimah, Syi’ah, dll, telah merasa memakai
“indikasi” tersebut guna menuju ke arah konsepsi yang lebih “jauh”.
Jikalau Tuhan yang “majhûl”
dirupakan melalui cara pandang beberapa sekte dalam Islam, maka sejatinya
esensi Tuhan ditundukkan oleh nalar tatkala keluar dari indikasi menuju ke
arah yang lebih “jauh”. Tuhan yang tak pernah menggambarkan esensiNya sendiri
mencoba ditundukkan oleh nalar melalui “indikasi-indikasi” yang
multi-interpretatif. Konsekuensinya, esensi Tuhan akan senantiasa berubah
disesuaikan dengan varian penalaran manusia. Penalaran yang sampai pada titik
tertinggi, untuk sementara waktu mungkin dengan bangga memegang “bendera
kemenangan”: layaknya Mu’tazilah dan Asy’ariyah yang “pernah” sampai pada
penalaran tertinggi keterpisahan antara zat Tuhan dengan Alam, yang
selanjutnya sampai pada titik menolak Tuhan sebagai jism. Namun, penalaran
ini sampai pada titik nadir tatkala Ibnu Rusyd muncul dengan mega proyek
“dekonstruksi kalam Asy’ari”, yang secara khusus tertuju pada al-Ghazali.
Sampai akhirnya muncul Ibnu ‘Arabi yang mencoba “menyelami” Tuhan menggunakan
argumen demonstratif-empirik. Kemunculan Ibnu ‘Arabi dalam percaturan polemik
tersebut, hemat Hendry Corbin, mencoba menyatukan Ghazalian-sentris dan
Rusydian-sentris. Namun lagi-lagi alur pemikiran Ibnu ‘Arabi dan beberapa
pandangannya, hanya memahami Tuhan secara ontologis; keberadaan Alam dan
manusia sebagai badan “otonom” yang “diperlukan” Tuhan untuk merealisasikan
Zat.
Konsekuensi logis dari varian
penalaran semacam ini, akan memunculkan Tuhan ala Mu’tazilah, Tuhan ala
Asy’ariyyah, atau “versi-versi” yang lain. Fenomena ini boleh jadi akan
mengantarkan kita pada satu konklusi penting; Tuhan tak bisa ditembus oleh
akal. Maka, tepatlah jika ada sabda Nabi SAW: Tafakkarû fî
khalqillah, wa lâ tafakkarû fil-Lah (bolehlah kalian berpikir
tentang ciptaan Allah, namun jangan sekali-kali memikirkan tentang (hakekat)
Allah). Oleh karena itu, sebenarnya keberagamaan manusia –meminjam istilah
Assyaukani-- tidak lebih dari “dalam batas iman saja”. Namun boleh jadi
hendak mengantarkan kita pada konklusi “lain” yang tak patut untuk disebutkan
pada tulisan ini. Wallâh a’lam.[]
|
AL-USHWAH
UMAR BIN ABDUL AZIZ
(Pelajaran Lainnya: Sampai-Sampai Seorang Budak Jadi Teman Dekatnya!!)
Jumat, 24 Maret 06
“Adalah Umar ibn Abdul
Aziz seorang yang bagus postur dan akhlaknya, banyak ilmu, ahli jiwa, banyak
takut dan taubatnya” (adz-Dzahabi)
Pembicaraan tentang
khalifah dan tabi’i Umar ibn Abdul Aziz adalah pembicaraan yang memiliki warna
dan keragaman.
Belum selesai anda
memahami makna sebuah potret dari potret-potret kehidupannya yang langka
sehingga ia membawa anda kepada potret lain yang lebih indah, lebih menarik dan
memiliki pengaruh yang dalam (mengesankan).
Dalam pembahasan yang
lalu, kita telah menyelami tiga dari potret kehidupan ‘khulafaur rasyidin yang
kelima’ ini.
Maka marilah kita
sekarang menikmati tiga potret lain yang tidak kalah pamornya dari yang
sebelumnya.
Adapun potret pertama,
maka ‘Dukain ibn Said ad-Daarimi’ akan meriwayatkan kisahnya kepada anda. Ia
salah seorang penyair rajaz* yang menonjol. Ia menuturkan,
“Aku memuji Umar ibn
Abdul Aziz (dengan syair) pada saat ia menjadi gubernur di Madinah, lalu ia
menyuruh untuk memberiku lima belas unta betina dari unta-unta pilihan.
Tatkala unta-unta itu
sudah berada di hadapanku, aku memperhatikanya. Pemandangannya membuatku
tercengang. Aku takut berjalan sendiri membawa mereka di antara lereng-lereng
pegunungan karena khawatir terjadi sesuatu dengan mereka sementara untuk
menjualnya, aku tidak menginginkannya.
Di saat aku dalam
keadaan seperti itu, kawan-kawan sejawat mendatangi kami karena hendak
melakukan perjalanan menuju ke negeri kami di ‘Najd.’
Aku meminta mereka untuk
menemaniku. Mereka berkata, ‘Selamat datang untukmu, dan kami akan berangkat
malam ini, persiapkan dirimu untuk keluar bersama kami.’
Aku lalu menemui Umar
ibn Abdul Aziz untuk mengucapkan selamat tinggal. Di majlisnya kutemui ada dua
orang syaikh (tokoh terpandang) bersamanya. Aku tidak mengenali mereka berdua.
Ketika aku hendak berpaling, Umar menoleh kepadaku dan berkata, ‘Wahai Dukain,
sesungguhnya aku memiliki jiwa yang ambisius; bila kamu mengetahui bahwa aku
telah mencapai sesuatu yang lebih tinggi daripada apa yang aku capai sekarang,
maka datanglah kepadaku. Aku akan mengimbali jasamu itu.’
Aku berkata,
‘Persaksikanlah untukku akan hal itu wahai amir (Umar bin Abdul ‘Aziz).’
‘Aku mempersaksikan
Allah ta’ala akan hal itu, ‘ kata Umar
‘Dan (siapa yang menjadi
saksi) dari makhluk-Nya,?’ tanyaku
Ia menjawab, ‘Kedua
orang syaikh ini.!’
Aku mendekati salah satu
dari keduanya dan berkata, ‘Dengan ayah dan ibuku (sebagai tebusanmu), katakan
kepadaku siapa namamu agar aku dapat mengenalimu?.’
‘Salim ibn Abdullah ibn
Umar ibn al-Khaththab, ‘ jawabnya.
Aku menoleh ke arah amir
dan berkata, ‘Aku mujur mendapatkan saksi terpercaya ini...’, kemudian aku
memandang kepada syaikh yang lain seraya berkata, ‘Dan siapakah engkau –aku
jadikan diriku sebagai tebusanmu-.’
Ia menjawab, ‘Abu Yahya,
budak sang Amir.’
Aku berkata, ‘Ini saksi
dari keluarganya (orang dalam istana).’
Aku kemudian mengucapkan
salam kepadanya dan berlalu sembari membawa unta betina ke negeri kaumku di
‘Najd.’
Allah memberikan berkah
pada unta-unta tadi sehingga dari keturunannya aku dapat membeli lagi onta yang
lain dan budak-budak.
Hari-hari pun
bergulir... Di saat aku berada di tengah padang pasir yang menyengat di tanah
Yamamah, Najd, tiba-tiba seorang pembawa berita duka menyampaikan berita
kematian Amirul mukminin, Sulaiman ibn Abdul Malik. Aku bertanya kepadanya,
‘Siapakah khalifah yang menggantikannya?’
‘Umar ibn Abdul Aziz,’
jawabnya.
Begitu mendengar
jawabannya, aku segera berangkat menuju negeri Syam.
Sesampainya di Damaskus,
aku bertemu dengan Jarir** yang baru saja keluar dari kediaman khalifah.
Aku menyalaminya dan
berkata, ‘Dari mana engkau wahai Abu Hazrah?.’
Ia menjawab, ‘Dari
kediaman khalifah, ia memberi orang fakir dan melarang (tidak memberi) para
penyair. Pulanglah ke tempatmu, itu lebih baik bagimu.!’
‘Sesungguhnya aku
memiliki kepentingan yang berbeda denganmu,’ kataku.
Ia berkata, ‘Terserah
kamulah.’
Aku bertolak hingga
sampai di rumah khalifah. Ternyata di sana, ia sedang berada di serambi rumah.
Anak-anak yatim, janda-janda dan orang-orang yang terzhalimi telah berada di
sekelilingnya.
Saking penuh sesaknya
orang yang mengelilinginya, aku merasa tidak ada cara lain untuk bisa
menemuinya. Karena itu, aku mengeraskan suaraku seraya merangkai bait,
Wahai Umar,
Berikan kebaikan dan kemuliaan
Wahai Umar,
Berikanlah tempayan-tempayan yang besar
Sesungguhnya aku berasal dari kota Qathan,*** tempat suku Daarim****
Aku menagih hutang dari saudara mulia
Abu Yahya, budak sang
Amir memandangku begitu lama, kemudian menoleh kepadanya (Umar) seraya berkata,
‘Wahai amirul mukminin, sesungguhnya aku punya persaksian untuk orang badui
(pedalaman) ini atasmu.’’
‘Aku tahu itu,’ kata
Umar
Kemudian Umar menoleh
kepadaku dan berkata, ‘Mendekatlah kemari wahai Dukain.!’
Saat aku sudah berada di
hadapannya, ia membalikkan badannya ke arahku dan berkata, ‘Apakah kamu ingat
apa yang telah aku katakan kepadamu di Madinah, bahwa bila jiwaku sudah
memperoleh sesuatu pastilah akan merindukaan (menginginkan) yang lebih tinggi
darinya.’
‘Ya, wahai amirul
mukminin,’ kataku.
Ia menjawab, ‘Kini, aku
telah memperoleh suatu yang tertinggi dari apa yang ada di dunia ini, yaitu
kerajaan.! Maka jiwaku menginginkan sesuatu yang lebih tinggi lagi dari apa
yang ada di akhirat, yaitu surga, dan berjalan menuju kemenangan dengan
(memperoleh) keridhaan Allah AWJ. Apabila para raja menjadikan kekuasaannya
sebagai jalan untuk sampai kepada izzah (kemuliaan) dunia, maka sungguh aku
akan menjadikannya jalan untuk sampai kepada izzah akhirat.!’
Kemudian ia berkata,
‘Wahai Dukain, sesunggunya aku –demi Allah- tidak pernah mengambil sepeserpun
dari harta kaum muslimin; satu dirham atau pun satu dinar semenjak aku menjabat
urusan ini. Dan sesungguhnya aku hanya memiliki seribu dirham saja, maka
ambillah separuhnya sedangkan separuhnya lagi sisakan untukku.’
Aku lalu mengambil harta
yang ia berikan kepadaku. Dan demi Allah, aku tidak pernah melihat yang lebih
besar berkahnya daripadanya.”
Adapun potret kedua
diriwayatkan oleh Qadhi Mousul (kawasan di Iraq-red), Yahya
ibn Yahya al-Ghassaani. Ia menuturkan,
“Ketika suatu hari Umar
ibn Abdul Aziz berkeliling di pasar-pasar ‘Himsh’***** untuk mengontrol
aktifitas perdagangan dan mengetahui harga-harga. Tiba-tiba seseorang berdiri,
ia memakai dua pakaian bergaris yang berwarna merah dari Qatar, ia berkata,
‘Wahai amirul mukminin! Sungguh aku telah mendengarmu memerintahkan orang yang
terzhalimi untuk datang kepadamu.’
‘Benar,’ jawab Umar.
Ia berkata, ‘Dan kini
telah datang kepadamu, seseorang yang terzhalimi dari tempat yang jauh.’
‘Dimanakah keluargamu,?’
tanya Umar.
Orang tersebut menjawab,
‘Di ‘Aden (Yaman-red).’
Umar berkata, ‘Demi
Allah, sesungguhnya tempatmu dari tempat Umar sungguh jauh.’
Umar lalu turun dari
kendaraannya dan berdiri di hadapannya seraya berkata, ‘Kezhaliman apa yang
menimpamu?.’
Ia menjawab, ‘Tanah
milikku, direbut dan dirampas oleh orang bawahan tuan.’
Umar lalu menulis surat
kepada ‘Urwah ibn Muhammad,’ bawahannya yang memerintah kawasan ’Aden. Bunyi
surat itu: ‘Amma ba’du, Apabila surat ini sampai kepadamu, maka dengarkanlah
bukti (hujjah/argumen) orang yang membawanya, jika memang haknya maka
berikanlah kepadanya.’
Ia kemudian memberikan
setempel pada suratnya lalu menyerahkannya kepada orang tersebut.
Saat orang itu hendak
pergi, Umar berkata kepadanya, ‘Jangan tergesa-gesa! sesungguhnya kamu telah
mendatangi kami dari negeri yang jauh. Tidak diragukan lagi, pasti kamu telah
menghabiskan bekal yang banyak untuk perjalananmu ini. Baju-baju barumu menjadi
lusuh dan bisa jadi tungganganmu binasa karenanya.’
Umar lalu mengkalkulasi
seluruh biaya tersebut hingga mencapai total sebelas dinar, lalu memberikannya
kepadanya (sebagai ongkos pengganti). Ia berkata, ‘Sebarkanlah mengenai hal ini
kepada khalayak manusia agar orang yang terzhalimi di tengah mereka tidak
merasa berat untuk mengadukan kezhaliman yang dialaminya setelah hari ini,
walaupun tempat tinggalnya jauh.!’”
Adapun potret ketiga,
maka seorang ahli ibadah yang zuhud, Ziyad ibn Maisaroh al-Makhzuumi yang akan
meriwayatkannya kepada kita. Ia menuturkan,
“Tuanku ‘Abdullah ibn
‘Ayyasy’ mengutusku dari Madinah ke Damaskus untuk bertemu amirul mukminin,
Umar ibn Abdul Aziz guna menyelesaikan beberapa urusannya.
Antara aku dan Umar
telah ada hubungan lama dimulai saat ia menjabat sebagai penguasa Madinah. Saat
aku masuk menemuinya, ternyata ada seorang juru tulis di sisinya yang menulis
untuknya.
Saat berada di depan
bilik, aku mengucapkan, ‘Assalamu ’alaikum .’
Ia menjawab, ‘Wa’alaikumussalam
warahmatullah, ya Ziyad.’
Aku lalu berjalan ke
arahnya dengan rasa malu, karena tadi tidak mengucapkan salam kepadanya dengan
menyebut ‘amirul mukminin’ terlebih dahulu. Sesampainya aku kepadanya, aku
mengucapkan (lagi), ‘Assalamu ‘alaika ya Amiral mukminin warahmatullahi
ta’ala wabarakatuh.’
Ia berkata, ‘Wahai Ziyad,
sesungguhnya aku tidak mengingkari atas ucapan salammu yang pertama tadi,
mengapa kamu harus mengucapkannya lagi untuk kedua kalinya?’
Juru tulisnya pada saat
itu sedang membacakan pengaduan tindak kezhaliman yang datang dari “Bashrah”
melalui surat. Ia lalu berkata kepadaku, ‘Duduklah wahai Ziyad sehingga kami
sampai kepada giliranmu.’
Aku duduk di sebelah
pintu, sedangkan juru tulis masih membacakan untuknya. Dan Umar menarik nafas
dalam-dalam karena merasa gundah.
Saat juru tulisnya
selesai membaca surat-surat yang ada bersamanya dan beranjak untuk menjalankan
tugasnya yang lain, Umarpun bangkit dari majlisnya. Ia berjalan ke arahku
hingga duduk di depanku di pintu. Ia meletakkan kedua tangannya di atas kedua
lututku sembari berkata, ‘Selamat untukmu wahai Ziyad, kamu telah menghangatkan
tubuhmu dengan madro’ah (jubah yang terbuka bagian depannya)
ini dan dapat terhindar dari kesibukan yang kami hadapi. ‘
Aku memang memakai madro’ah yang
terbuat dari wool.
Kemudian ia mulai
menanyaiku tentang keadaan orang-orang shalih penduduk Madinah, kaum laki-laki
dan wanitanya, satu demi satu. Tidak satu orang pun dari mereka yang
terlewatkan olehnya untuk ditanyai keadaannya.
Ia lalu menanyaiku
tentang hal-hal yang pernah ia perintahkan di Madinah saat ia masih menjabat
sebagai penguasa dulu.
Aku memberitahukan
kepadanya tentang segala yang ia tanyakan.
Ia mendesah sedih seraya
berkata, ‘Wahai Ziyad, tidakkah kamu melihat apa yang telah menimpa Umar.?’
Aku berkata, ‘Aku
berharap kebaikan dan pahala untukmu dalam hal itu.!’
Ia berkata, ‘Terlalu
jauh (tidak mungkin).!!!’
Kemudian ia menangis.
Aku menghiburnya dan berkata, ‘Sayangilah dirimu wahai amirul mukminin, sungguh
aku mengharap kebaikan untukmu.’
‘Alangkah jauhnya apa
yang kamu harapkan itu wahai Ziyad! Aku dapat dengan leluasa mencela tanpa ada
yang berani balas mencela, memukul tanpa ada yang berani balas memukul,
menyakiti orang tanpa ada yang berani balas menyakitiku.!’
Ia pun menangis lagi sehingga
membuatku iba terhadapnya.
Aku tinggal di sisinya
selama tiga hari hingga berhasil menuntaskan tugas yang diembankan tuanku.
Saat aku hendak pergi,
ia menitipkan kepadaku sepucuk surat untuk tuanku, isinya memohon kepadanya
agar menjual diriku kepadanya.
Kemudian ia mengeluarkan
dua puluh dinar dari bawah kasurnya, lantas berkata, ‘Pergunakan harta ini
untuk menolong duniamu! andaikata kamu mendapat jatah dari harta ‘Fai’ (harta
rampasan yang didapat tanpa melalui peperangan-red), pastilah akan kuberikan
kepadamu.!’
Aku pun menolak untuk
mengambil harta darinya.
Ia berkata, ‘Ambillah,
itu bukan berasal dari Baitul Mal akan tetapi itu dari gaji pribadiku.”
Aku tetap menolak untuk
mengambilnya.
Ia terus memaksaku
hingga aku mengambilnya dan pergi.
Sesampainya di Madinah,
surat amirul mukminin itu aku berikan kepada tuanku. Ia membukanya dan berkata,
‘Ia memintaku agar menjualmu kepadanya sehingga dapat memerdekakanmu. Kalau
begitu, kenapa bukan aku saja yang memerdekakanmu.?’
Kemudian ia pun
memerdekakanku.”
CATATAN KAKI:
* Penyair Rajaz adalah
penyair yang melantunkan bait-bait sya’ir yang wazan (timbangan)nya adalah ‘Mustaf’ilun.’-penj
** Jarir adalah salah
satu dari tiga penyair besar di masa Bani Umayyah. Mereka adalah Jarir, al-Farazdaq
dan al-Akhthal
*** Qathan adalah sebuah
kota yang memiliki kedudukan di lembah Hadlramaut
**** Dari Daarim yaitu
(dari) bani Daarim dari arab Hijaz
***** Himsh adalah kota
terbesar di Syiria, posisinya paling tengah, disanalah terdapat kuburan Khalid
ibn al-Walid RA
RUJUKAN:
Sebagai tambahan tentang
Umar ibn Abdul Aziz, lihatlah:
1. Siiratu Umar ibn
Abdul Aziz oleh Ibn Abdil Hakim
2. Siiratu Umar ibn
Abdul Aziz oleh Ibnul Jauzi
3. Siiratu Umar ibn
Abdul Aziz oleh al-Aajurri
4. Ath-Thabaqatul
Kubra oleh Ibn Sa’d: 5/330
5. Shifatush
Shafwah oleh Ibnul Jauzi: 2/113-126
6. Wafayaatul
A’yaan oleh Ibn al-Khalqan, jilid 2, 3, 4, dan 5
7. Al-‘Aqdul
Fariid oleh Ibn Abdi Rabbih, juz 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8
8. Al-Bayaan wat
Tabyiin oleh al-Jaahidz, lihat footnote pada juz 1, 2, 3, 4.
9. Tarikh
Madinati Dimasyq oleh Ibn ‘Asaakir: 2/115
Oleh Pontren UMMUL QURO' Tengaran Duren Bandungan Jawa-Tengah
ARAB SEBELUM ISLAM
Sumber Peradaban Pertama
PENYELIDIKAN
mengenai sejarah peradaban manusia dan dari mana pula asal-usulnya, sebenarnya
masih ada hubungannya dengan zaman kita sekarang ini. Penyelidikan demikian
sudah lama menetapkan, bahwa sumber peradaban itu sejak lebih dari enam ribu
tahun yang lalu adalah Mesir. Zaman sebelum itu dimasukkan orang kedalam
kategori pra-sejarah. Oleh karena itu sukar sekali akan sampai kepada suatu
penemuan yang ilmiah. Sarjana-sarjana ahli purbakala (arkelogi) kini kembali mengadakan
penggalian-penggalian di Irak dan Suria dengan maksud mempelajari soal-soal
peradaban Asiria dan Funisia serta menentukan zaman permulaan daripada kedua
macam peradaban itu: adakah ia mendahului peradaban Mesir masa Firaun dan
sekaligus mempengaruhinya, ataukah ia menyusul masa itu dan terpengaruh
karenanya?
Apapun juga yang
telah diperoleh sarjana-sarjana arkelogi dalam bidang sejarah itu, samasekali
tidak akan mengubah sesuatu dari kenyataan yang sebenarnya, yang dalam
penggalian benda-benda kuno Tiongkok dan Timur Jauh belum memperlihatkan hasil
yang berlawanan. Kenyataan ini ialah bahwa sumber peradaban pertama - baik di
Mesir, Funisia atau Asiria - ada hubungannya dengan Laut Tengah; dan bahwa
Mesir adalah pusat yang paling menonjol membawa peradaban pertama itu ke Yunani
atau Rumawi, dan bahwa peradaban dunia sekarang, masa hidup kita sekarang ini,
masih erat sekali hubungannya dengan peradaban pertama itu.
Apa yang pernah
diperlihatkan oleh Timur Jauh dalam penyelidikam tentang sejarah peradaban,
tidak pernah memberi pengaruh yang jelas terhadap pengembangan
peradaban-peradaban Fira'un, Asiria atau Yunani, juga tidak pernah mengubah
tujuan dan perkembangan peradaban-peradaban tersebut. Hal ini baru terjadi
sesudah ada akulturasi dan saling-hubungan dengan peradaban Islam. Di sinilah
proses saling pengaruh-mempengaruhi itu terjadi, proses asimilasi yang sudah
sedemikian rupa, sehingga pengaruhnya terdapat pada peradaban dunia yang
menjadi pegangan umat manusia dewasa ini.
Laut Tengah dan
Laut Merah
Peradaban-peradaban
itu sudah begitu berkembang dan tersebar ke pantai-pantai Laut Tengah atau di
sekitarnya, di Mesir, di Asiria dan Yunani sejak ribuan tahun yang lalu, yang
sampai saat ini perkembangannya tetap dikagumi dunia: perkembangan dalam ilmu pengetahuan
dan teknologi, dalam bidang pertanian, perdagangan, peperangan dan dalam segala
bidang kegiatan manusia. Tetapi, semua peradaban itu, sumber dan
pertumbuhannya, selalu berasal dari agama. Memang benar bahwa sumber itu
berbeda-beda antara kepercayaan trinitas Mesir Purba yang tergambar dalam
Osiris, Isis dan Horus, yang memperlihatkan kesatuan dan penjelmaan hidup
kembali di negerinya serta hubungan kekalnya hidup dari bapa kepada anak, dan
antara paganisma Yunani dalam melukiskan kebenaran, kebaikan dan keindahan yang
bersumber dan tumbuh dari gejala-gejala alam berdasarkan pancaindera; demikian
sesudah itu timbul perbedaan-perbedaan yang dengan penggambaran semacam itu
dalam pelbagai zaman kemunduran itu telah mengantarkannya ke dalam kehidupan duniawi.
Akan tetapi sumber semua peradaban itu tetap membentuk perjalanan sejarah
dunia, yang begitu kuat pengaruhnya sampai saat kita sekarang ini, sekalipun
peradaban demikian hendak mencoba melepaskan diri dan melawan sumbernya sendiri
itu dari zaman ke zaman. Siapa tahu, hal yang serupa kelak akan hidup kembali.
Dalam lingkungan
masyarakat ini, yang menyandarkan peradabannya sejak ribuan tahun kepada sumber
agama, dalam lingkungan itulah dilahirkan para rasul yang membawa agama-agama
yang kita kenal sampai saat ini. Di Mesir dilahirkan Musa, dan dalam pangkuan
Firaun ia dibesarkan dan diasuh, dan di tangan para pendeta dan pemuka-pemuka
agama kerajaan itu ia mengetahui keesaan Tuhan dan rahasia-rahasia alam.
Agama-agama
Kristen dan Majusi
Setelah datang
ijin Tuhan kepadanya supaya ia membimbing umat di tengah-tengah Firaun yang
berkata kepada rakyatnya: "Akulah tuhanmu yang tertinggi" iapun
berhadapan dengan Firaun sendiri dan tukang-tukang sihirnya, sehingga akhirnya
terpaksa ia bersama-sama orang-orang Israil yang lain pindah ke Palestina. Dan
di Palestina ini pula dilahirkan Isa, Ruh dan Firman Allah yang ditiupkan ke
dalam diri Mariam. Setelah Tuhan menarik kembali Isa putera Mariam,
murid-muridnya kemudian menyebarkan agama Nasrani yang dianjurkan Isa itu.
Mereka dan pengikut-pengikut mereka mengalami bermacam-macam penganiayaan.
Kemudian setelah dengan kehendak Tuhan agama ini tersebar, datanglah Maharaja
Rumawi yang menguasai dunia ketika itu, membawa panji agama Nasrani. Seluruh
Kerajaan Rumawi kini telah menganut agama Isa. Tersebarlah agama ini di Mesir,
di Syam (Suria-Libanon dan Palestina) dan Yunani, dan dari Mesir menyebar pula
ke Ethiopia. Sesudah itu selama beberapa abad kekuasaan agama ini semakin kuat
juga. Semua yang berada di bawah panji Kerajaan Rumawi dan yang ingin
mengadakan persahabatan dan hubungan baik dengan Kerajaan ini, berada di bawah
panji agama Masehi itu.
Berhadapan dengan
agama Masehi yang tersebar di bawah panji dan pengaruh Rumawi itu berdiri pula
kekuasaan agama Majusi di Persia yang mendapat dukungan moril di Timur Jauh dan
di India. Selama beberapa abad itu Asiria dan Mesir yang membentang sepanjang
Funisia, telah merintangi terjadinya suatu pertarungan langsung antara
kepercayaan dan peradaban Barat dengan Timur. Tetapi dengan masuknya Mesir dan
Funisia ke dalam lingkungan Masehi telah pula menghilangkan rintangan itu.
Paham Masehi di Barat dan Majusi di Timur sekarang sudah berhadap-hadapan muka.
Selama beberapa abad berturut-turut, baik Barat maupun Timur, dengan hendak
menghormati agamanya masing-masing, yang sedianya berhadapan dengan rintangan
alam, kini telah berhadapan dengan rintangan moril, masing-masing merasa perlu
dengan sekuat tenaga berusaha mempertahankan kepercayaannya, dan satu sama lain
tidak saling mempengaruhi kepercayaan atau peradabannya, sekalipun peperangan
antara mereka itu berlangsung terus-menerus sampai sekian lama.
Bizantium Pewaris
Rumawi
Akan tetapi,
sekalipun Persia telah dapat mengalahkan Rumawi dan dapat menguasai Syam dan
Mesir dan sudah sampai pula di ambang pintu Bizantium, namun tak terpikir oleh
raja-raja Persia akan menyebarkan agama Majusi atau menggantikan tempat agama
Nasrani. Bahkan pihak yang kini berkuasa itu malahan menghormati kepercayaan
orang yang dikuasainya. Rumah-rumah ibadat mereka yang sudah hancur akibat
perang dibantu pula membangun kembali dan dibiarkan mereka bebas menjalankan
upacara-upacara keagamaannya. Satu-satunya yang diperbuat pihak Persia dalam
hal ini hanyalah mengambil Salib Besar dan dibawanya ke negerinya. Bilamana
kelak kemenangan itu berganti berada di pihak Rumawi, Salib itupun diambilnya
kembali dari tangan Persia. Dengan demikian peperangan rohani di Barat itu
tetap di Barat dan di Timur tetap di Timur. Dengan demikian rintangan moril
tadi sama pula dengan rintangan alam dan kedua kekuatan itu dari segi rohani
tidak saling berbenturan.
Keadaan serupa itu
berlangsung terus sampai abad keenam. Dalam pada itu pertentangan antara Rumawi
dengan Bizantium makin meruncing. Pihak Rumawi, yang benderanya berkibar di
benua Eropa sampai ke Gaul dan Kelt di Inggris selama beberapa generasi dan
selama zaman Julius Caesar yang dibanggakan dunia dan tetap dibanggakan,
kemegahannya itu berangsur-angsur telah mulai surut, sampai akhirnya Bizantium
memisahkan diri dengan kekuasaan sendiri pula, sebagai ahliwaris Kerajaan
Rumawi yang menguasai dunia itu. Puncak keruntuhan Kerajaan Rumawi ialah
tatkala pasukan Vandal yang buas itu datang menyerbunya dan mengambil kekuasaan
pemerintahan di tangannya. Peristiwa ini telah menimbulkan bekas yang dalam
pada agama Masehi yang tumbuh dalam pangkuan Kerajaan Rumawi. Mereka yang sudah
beriman kepada Isa itu telah mengalami pengorbanan-pengorbanan besar, berada
dalam ketakutan di bawah kekuasaan Vandal itu.
Sekta-sekta Kristen
dan Pertentangannya
Mazhab-mazhab
agama Masehi ini mulai pecah-belah. Dari zaman ke zaman mazhab-mazhab itu telah
terbagi-bagi ke dalam sekta-sekta dan golongan-golongan. Setiap golongan
mempunyai pandangan dan dasar-dasar agama sendiri yang bertentangan dengan
golongan lainnya. Pertentangan-pertentangan antara golongan-golongan satu sama
lain karena perbedaan pandangan itu telah mengakibatkan adanya permusuhan
pribadi yang terbawa oleh karena moral dan jiwa yang sudah lemah, sehingga
cepat sekali ia berada dalam ketakutan, mudah terlibat dalam fanatisma yang
buta dan dalam kebekuan. Pada masa-masa itu, di antara golongan-golongan Masehi
itu ada yang mengingkari bahwa Isa mempunyai jasad disamping bayangan yang
tampak pada manusia; ada pula yang mempertautkan secara rohaniah antara jasad
dan ruhnya sedemikian rupa sehingga memerlukan khayal dan pikiran yang begitu
rumit untuk dapat menggambarkannya; dan disamping itu ada pula yang mau
menyembah Mariam, sementara yang lain menolak pendapat bahwa ia tetap perawan
sesudah melahirkan Almasih.
Terjadinya
pertentangan antara sesama pengikut-pengikut Isa itu adalah peristiwa yang
biasa terjadi pada setiap umat dan zaman, apabila ia sedang mengalami
kemunduran: soalnya hanya terbatas pada teori kata-kata dan bilangan saja, dan
pada tiap kata dan tiap bilangan itu ditafsirkan pula dengan bermacam-macam
arti, ditambah dengan rahasia-rahasia, ditambah dengan warna-warni khayal yang
sukar diterima akal dan hanya dapat dikunyah oleh perdebatan-perdebatan
sophisma yang kaku saja.
Salah seorang
pendeta gereja berkata: "Seluruh penjuru kota itu diliputi oleh
perdebatan. Orang dapat melihatnya dalam pasar-pasar, di tempat-tempat penjual
pakaian, penukaran uang, pedagang makanan. Jika ada orang bermaksud hendak
menukar sekeping emas, ia akan terlibat ke dalam suatu perdebatan tentang apa
yang diciptakan dan apa yang bukan diciptakan. Kalau ada orang hendak menawar
harga roti maka akan dijawabnya: Bapa lebih besar dari putera dan putera tunduk
kepada Bapa. Bila ada orang yang bertanya tentang kolam mandi adakah airnya
hangat, maka pelayannya akan segera menjawab: "Putera telah diciptakan
dari yang tak ada."
Tetapi kemunduran
yang telah menimpa agama Masehi sehingga ia terpecah-belah ke dalam
golongan-golongan dan sekta-sekta itu dari segi politik tidak begitu besar
pengaruhnya terhadap Kerajaan Rumawi. Kerajaan itu tetap kuat dan kukuh.
Golongan-golongan itupun tetap hidup dibawah naungannya dengan tetap adanya
semacam pertentangan tapi tidak sampai orang melibatkan diri kedalam polemik
teologi atau sampai memasuki pertemuan-pertemuan semacam itu yang pernah
diadakan guna memecahkan sesuatu masalah. Suatu keputusan yang pernah diambil
oleh suatu golongan tidak sampai mengikat golongan yang lain. Dan Kerajaanpun
telah pula melindungi semua golongan itu dan memberi kebebasan kepada mereka
mengadakan polemik, yang sebenarnya telah menambah kuatnya kekuasaan Kerajaan
dalam bidang administrasi tanpa mengurangi penghormatannya kepada agama. Setiap
golongan jadinya bergantung kepada belas kasihan penguasa, bahkan ada dugaan
bahwa golongan itu menggantungkan diri kepada adanya pengakuan pihak yang
berkuasa itu.
Majusi Persia di
Jazirah Arab
Sikap saling
menyesuaikan diri di bawah naungan Imperium itu itulah pula yang menyebabkan
penyebaran agama Masehi tetap berjalan dan dapat diteruskan dari Mesir dibawah
Rumawi sampai ke Ethiopia yang merdeka tapi masih dalam lingkungan persahabatan
dengan Rumawi. Dengan demikian ia mempunyai kedudukan yang sama kuat di
sepanjang Laut Merah seperti di sekitar Laut Tengah itu. Dari wilayah Syam ia
menyeberang ke Palestina. Penduduk Palestina dan penduduk Arab Ghassan yang
pindah ke sana telah pula menganut agama itu, sampai ke pantai Furat, penduduk
Hira, Lakhmid dan Mundhir yang berpindah dari pedalaman sahara yang tandus ke
daerah-daerah subur juga demikian, yang selanjutnya mereka tinggal di daerah
itu beberapa lama untuk kemudian hidup di bawah kekuasaan Persia Majusi.
Dalam pada itu
kehidupan Majusi di Persia telah pula mengalami kemunduran seperti agama Masehi
dalam Imperium Rumawi. Kalau dalam agama Majusi menyembah api itu merupakan
gejala yang paling menonjol, maka yang berkenaan dengan dewa kebaikan dan
kejahatan pengikut-pengikutnya telah berpecah-belah juga menjadi
golongan-golongan dan sekta-sekta pula. Tapi disini bukan tempatnya menguraikan
semua itu. Sungguhpun begitu kekuasaan politik Persia tetap kuat juga. Polemik
keagamaan tentang lukisan dewa serta adanya pemikiran bebas yang tergambar
dibalik lukisan itu, tidaklah mempengaruhinya. Golongan-golongan agama yang
berbeda-beda itu semua berlindung di bawah raja Persia. Dan yang lebih
memperkuat pertentangan itu ialah karena memang sengaja digunakan sebagai suatu
cara supaya satu dengan yang lain saling berpukulan, atas dasar kekuatiran,
bila salah satunya menjadi kuat, maka Raja atau salah satu golongan itu akan
memikul akibatnya.
Antara Dua
Kekuatan
Kedua kekuatan
yang sekarang sedang berhadap-hadapan itu ialah: kekuatan Kristen dan kekuatan
Majusi, kekuatan Barat berhadapan dengan kekuatan Timur. Bersamaan dengan itu
kekuasaan-kekuasaan kecil yang berada di bawah pengaruh kedua kekuatan itu,
pada awal abad keenam berada di sekitar jazirah Arab. Kedua kekuatan itu
masing-masing mempunyai hasrat ekspansi dan penjajahan. Pemuka-pemuka kedua
agama itu masing-masing berusaha sekuat tenaga akan menyebarkan agamanya ke
atas kepercayaan agama lain yang sudah dianutnya. Sungguhpun demikian jazirah
itu tetap seperti sebuah oasis yang kekar tak sampai terjamah oleh peperangan,
kecuali pada beberapa tempat di bagian pinggir saja, juga tak sampai terjamah
oleh penyebaran agama-agama Masehi atau Majusi, kecuali sebagian kecil saja
pada beberapa kabilah. Gejala demikian ini dalam sejarah kadang tampak aneh
kalau tidak kita lihat letak dan iklim jazirah itu serta pengaruh keduanya
terhadap kehidupan penduduknya, dalam aneka macam perbedaan dan persamaan serta
kecenderungan hidup mereka masing-masing.
Letak Geografis
Semenanjung Arab
Jazirah Arab
bentuknya memanjang dan tidak parallelogram. Ke sebelah utara Palestina dan
padang Syam, ke sebelah timur Hira, Dijla (Tigris), Furat (Euphrates) dan Teluk
Persia, ke sebelah selatan Samudera Indonesia dan Teluk Aden, sedang ke sebelah
barat Laut Merah. Jadi, dari sebelah barat dan selatan daerah ini dilingkungi
lautan, dari utara padang sahara dan dari timur padang sahara dan Teluk Persia.
Akan tetapi bukan rintangan itu saja yang telah melindunginya dari serangan dan
penyerbuan penjajahan dan penyebaran agama, melainkan juga karena jaraknya yang
berjauh-jauhan. Panjang semenanjung itu melebihi seribu kilometer, demikian
juga luasnya sampai seribu kilometer pula. Dan yang lebih-lebih lagi
melindunginya ialah tandusnya daerah ini yang luar biasa hingga semua penjajah
merasa enggan melihatnya. Dalam daerah yang seluas itu sebuah sungaipun tak
ada. Musim hujan yang akan dapat dijadikan pegangan dalam mengatur sesuatu
usaha juga tidak menentu. Kecuali daerah Yaman yang terletak di sebelah selatan
yang sangat subur tanahnya dan cukup banyak hujan turun, wilayah Arab lainnya
terdiri dari gunung-gunung, dataran tinggi, lembah-lembah tandus serta alam
yang gersang. Tak mudah orang akan dapat tinggal menetap atau akan memperoleh
kemajuan. Sama sekali hidup di daerah itu tidak menarik selain hidup mengembara
terus-menerus dengan mempergunakan unta sebagai kapalnya di tengah-tengah
lautan padang pasir itu, sambil mencari padang hijau untuk makanan ternaknya,
beristirahat sebentar sambil menunggu ternak itu menghabiskan makanannya,
sesudah itu berangkat lagi mencari padang hijau baru di tempat lain.
Tempat-tempat beternak yang dicari oleh orang-orang badwi jazirah biasanya di
sekitar mata air yang menyumber dari bekas air hujan, air hujan yang turun dari
celah-celah batu di daerah itu. Dari situlah tumbuhnya padang hijau yang
terserak di sana-sini dalam wahah-wahah yang berada di sekitar mata air.
Raja Sahara
Sudah wajar sekali
dalam wilayah demikian itu, yang seperti Sahara Afrika Raya yang luas, tak ada
orang yang dapat hidup menetap, dan cara hidup manusia yang biasapun tidak pula
dikenal. Juga sudah biasa bila orang yang tinggal di daerah itu tidak lebih
maksudnya hanya sekadar menjelajahinya dan menyelamatkan diri saja, kecuali di
tempat-tempat yang tak seberapa, yang masih ditumbuhi rumput dan tempat
beternak. Juga sudah sewajarnya pula tempat-tempat itu tetap tak dikenal karena
sedikitnya orang yang mau mengembara dan mau menjelajahi daerah itu. Praktis
orang zaman dahulu tidak mengenal jazirah Arab, selain Yaman. Hanya saja
letaknya itu telah dapat menyelamatkan dari pengasingan dan penghuninyapun
dapat bertahan diri.
Lalu-Lintas
Kafilah
Pada masa itu
orang belum merasa begitu aman mengarungi lautan guna mengangkut barang
dagangan atau mengadakan pelayaran. Dari peribahasa Arab yang dapat kita lihat
sekarang menunjukkan, bahwa ketakutan orang menghadapi laut sama seperti dalam
menghadapi maut. Tetapi, bagaimanapun juga untuk mengangkut barang dagangan itu
harus ada jalan lain selain mengarungi bahaya maut itu. Yang paling penting
transpor perdagangan masa itu ialah antara Timur dan Barat: antara Rumawi dan
sekitarnya, serta India dan sekitarnya. Jazirah Arab masa itu merupakan daerah
lalu-lintas perdagangan yang diseberanginya melalui Mesir atau melalui Teluk
Persia, lewat terusan yang terletak di mulut Teluk Persia itu. Sudah tentu
wajar sekali bilamana penduduk pedalaman jazirah Arab itu menjadi raja sahara,
sama halnya seperti pelaut-pelaut pada masa-masa berikutnya yang daerahnya
lebih banyak dikuasai air daripada daratan, menjadi raja laut. Dan sudah wajar
pula bilamana raja-raja padang pasir itu mengenal seluk-beluk jalan para
kafilah sampai ke tempat-tempat yang berbahaya, sama halnya seperti para
pelaut, mereka sudah mengenal garis-garis perjalanan kapal sampai
sejauh-jauhnya. "Jalan kafilah itu bukan dibiarkan begitu saja," kata
Heeren, "tetapi sudah menjadi tempat yang tetap mereka lalui. Di daerah
padang pasir yang luas itu, yang biasa dilalui oleh para kafilah, alam telah
memberikan tempat-tempat tertentu kepada mereka, terpencar-pencar di daerah
tandus, yang kelak menjadi tempat mereka beristirahat. Di tempat itu, di bawah
naungan pohon-pohon kurma dan di tepi air tawar yang mengalir di sekitarnya,
seorang pedagang dengan binatang bebannya dapat menghilangkan haus dahaga
sesudah perjalanan yang melelahkan itu. Tempat-tempat peristirahatan itu juga
telah menjadi gudang perdagangan mereka, dan yang sebagian lagi dipakai sebagai
tempat penyembahan, tempat ia meminta perlindungan atas barang dagangannya atau
meminta pertolongan dari tempat itu."1
Lingkungan jazirah
itu penuh dengan jalan kafilah. Yang penting di antaranya ada dua. Yang sebuah
berbatasan dengan Teluk Persia, Sungai Dijla, bertemu dengan padang Syam dan
Palestina. Pantas jugalah kalau batas daerah-daerah sebelah timur yang
berdekatan itu diberi nama Jalan Timur. Sedang yang sebuah lagi berbatasan
dengan Laut Merah; dan karena itu diberi nama Jalan Barat. Melalui dua jalan
inilah produksi barang-barang di Barat diangkut ke Timur dan barang-barang di
Timur diangkut ke Barat. Dengan demikian daerah pedalaman itu mendapatkan
kemakmurannya.
Akan tetapi itu
tidak menambah pengetahuan pihak Barat tentang negeri-negeri yang telah dilalui
perdagangan mereka itu. Karena sukarnya menempuh daerah-daerah itu, baik pihak
Barat maupun pihak Timur sedikit sekali yang mau mengarunginya - kecuali bagi
mereka yang sudah biasa sejak masa mudanya. Sedang mereka yang berani secara
untung-untungan mempertaruhkan nyawa banyak yang hilang secara sia-sia di
tengah-tengah padang tandus itu. Bagi orang yang sudah biasa hidup mewah di
kota, tidak akan tahan menempuh gunung-gunung tandus yang memisahkan Tihama
dari pantai Laut Merah dengan suatu daerah yang sempit itu. Kalaupun pada waktu
itu ada juga orang yang sampai ke tempat tersebut - yang hanya mengenal unta
sebagai kendaraan - ia akan mendaki celah-celah pegunungan yang akhirnya akan
menyeberang sampai ke dataran tinggi Najd yang penuh dengan padang pasir. Orang
yang sudah biasa hidup dalam sistem politik yang teratur dan dapat menjamin
segala kepuasannya akan terasa berat sekali hidup dalam suasana pedalaman yang
tidak mengenal tata-tertib kenegaraan. Setiap kabilah, atau setiap keluarga, bahkan
setiap pribadipun tidak mempunyai suatu sistiem hubungan dengan pihak lain
selain ikatan keluarga atau kabilah atau ikatan sumpah setia kawan atau sistem
jiwar (perlindungan bertetangga) yang biasa diminta oleh pihak yang lemah
kepada yang lebih kuat.
Pada setiap zaman
tata-hidup bangsa-bangsa pedalaman itu memang berbeda dengan kehidupan di
kota-kota. Ia sudah puas dengan cara hidup saling mengadakan pembalasan,
melawan permusuhan dengan permusuhan, menindas yang lemah yang tidak mempunyai
pelindung. Keadaan semacam ini tidak menarik perhatian orang untuk membuat
penyelidikan yang lebih dalam. Oleh karena itu daerah Semenanjung ini tetap
tidak dikenal dunia pada waktu itu. Dan barulah kemudian - sesudah Muhammad
s.a.w. lahir di tempat tersebut - orang mulai mengenal sejarahnya dari
berita-berita yang dibawa orang dari tempat itu, dan daerah yang tadinya sama
sekali tertutup itu sekarang sudah mulai dikenal dunia.
Yaman dan
Peradabannya
Tak ada yang
dikenal dunia tentang negeri-negeri Arab itu selain Yaman dan
tetangga-tetangganya yang berbatasan dengan Teluk Persia. Hal ini bukan karena
hanya disebabkan oleh adanya perbatasan Teluk Persia dan Samudera Indonesia
saja, tetapi lebih-lebih disebabkan oleh - tidak seperti jazirah-jazirah lain -
gurun sahara yang tandus. Dunia tidak tertarik, negara yang akan bersahabatpun
tidak merasa akan mendapat keuntungan dan pihak penjajah juga tidak punya
kepentingan. Sebaliknya, daerah Yaman tanahnya subur, hujan turun secara
teratur pada setiap musim. Ia menjadi negeri peradaban yang kuat, dengan
kota-kota yang makmur dan tempat-tempat beribadat yang kuat sepanjang masa.
Penduduk jazirah ini terdiri dari suku bangsa Himyar, suatu suku bangsa yang
cerdas dan berpengetahuan luas. Air hujan yang menyirami bumi ini mengalir
habis menyusuri tanah terjal sampai ke laut. Mereka membuat Bendungan Ma'rib
yang dapat menampung arus air hujan sesuai dengan syarat-syarat peradaban yang
berlaku.
Sebelum di
bangunnya bendungan ini , air hujan yang deras terjun dari pegunungan Yaman
yang tinggi-tinggi itu, menyusur turun ke lembah-lembah yang terletak di
sebelah timur kota Ma'rib. Mula-mula air turun melalui celah-celah dua buah
gunung yang terletak di kanan-kiri lembah ini, memisahkan satu sama lain seluas
kira-kira 400 meter. Apabila sudah sampai di Ma'rib air itu menyebar ke dalam
lembah demikian rupa sehingga hilang terserap seperti di bendungan-bendungan
Hulu Sungai Nil. Berkat pengetahuan dan kecerdasan yang ada pada penduduk Yaman
itu, mereka membangun sebuah bendungan, yaitu Bendungan Ma'rib. Bendungan ini
dibangun daripada batu di ujung lembah yang sempit, lalu dibuatnya celah-celah
guna memungkinkan adanya distribusi air ke tempat-tempat yang mereka kehendaki
dan dengan demikian tanah mereka bertambah subur.
Peninggalan-peninggalan
peradaban Himyar di Yaman yang pernah diselidiki - dan sampai sekarang
penyelidikan itu masih diteruskan -menunjukkan, bahwa peradaban mereka pada
suatu saat memang telah mencapai tingkat yang tinggi sekali, juga sejarahpun
menunjukkan bahwa Yaman pernah pula mengalami bencana.
Judaisma dan
Kristen di Yaman
Sungguhpun begitu
peradaban yang dihasilkan dari kesuburan negerinya serta penduduknya yang
menetap menimbulkan gangguan juga dalam lingkungan jazirah itu. Raja-raja Yaman
kadang dari keluarga Himyar yang sudah turun-temurun, kadang juga dari kalangan
rakyat Himyar sampai pada waktu Dhu Nuwas al-Himyari berkuasa. Dhu Nuwas
sendiri condong sekali kepada agama Musa (Yudaisma), dan tidak menyukai
penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Ia belajar agama ini dari
orang-orang Yahudi yang pindah dan menetap di Yaman. Dhu Nuwas inilah yang
disebut-sebut oleh ahli-ahli sejarah, yang termasuk dalam kisah
"orang-orang yang membuat parit," dan menyebabkan turunnya ayat:
"Binasalah orang-orang yang telah membuat parit. Api yang penuh bahan
bakar. Ketika mereka duduk di tempat itu. Dan apa yang dilakukan orang-orang
beriman itu mereka menyaksikan. Mereka menyiksa orang-orang itu hanya karena
mereka beriman kepada Allah Yang Maha Mulia dan Terpuji." (Qur'an 85:4-8)
Cerita ini
ringkasnya ialah bahwa ada seorang pengikut Nabi Isa yang saleh bernama Phemion
telah pindah dari Kerajaan Rumawi ke Najran. Karena orang ini baik sekali,
penduduk kota itu banyak yang mengikuti jejaknya, sehingga jumlah mereka makin
lama makin bertambah juga. Setelah berita itu sampai kepada Dhu Nuwas, ia pergi
ke Najran dan dimintanya kepada penduduk supaya mereka masuk agama Yahudi,
kalau tidak akan dibunuh. Karena mereka menolak, maka digalilah sebuah parit
dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu dan yang
tidak mati karena api, dibunuhnya kemudian dengan pedang atau dibikin cacat.
Menurut beberapa buku sejarah korban pembunuhan itu mencapai duapuluh ribu
orang. Salah seorang di antaranya dapat lolos dari maut dan dari tangan Dhu
Nuwas, ia lari ke Rumawi dan meminta bantuan Kaisar Yustinianus atas perbuatan
Dhu Nuwas itu. Oleh karena letak Kerajaan Rumawi ini jauh dari Yaman, Kaisar
itu menulis surat kepada Najasyi (Negus) supaya mengadakan pembalasan terhadap
raja Yaman. Pada waktu itu [abad ke-6] Abisinia yang dipimpin oleh Najasyi
sedang berada dalam puncak kemegahannya. Perdagangan yang luas melalui laut
disertai oleh armada yang kuat2 dapat menancapkan pengaruhnya sampai
sejauh-jauhnya. Pada waktu itu ia menjadi sekutu Imperium Rumawi Timur dan yang
memegang panji Kristen di Laut Merah, sedang Kerajaan Rumawi Timur sendiri
menguasainya di bagian Laut Tengah.
Setelah surat
Kaisar sampai ke tangan Najasyi, ia mengirimkan bersama orang Yaman itu - yang
membawa surat - sepasukan tentara di bawah pimpinan Aryat (Harith) dan Abraha
al-Asyram salah seorang prajuritnya. Aryat menyerbu Kerajaan Yaman atas nama
penguasa Abisinia. Ia memerintah Yaman ini sampai ia dibunuh oleh Abraha yang
kemudian menggantikan kedudukannya. Abraha inilah yang memimpin pasukan gajah,
dan dia yang kemudian menyerbu Mekah guna menghancurkan Ka'bah tetapi gagal,
seperti yang akan terlihat nanti dalam pasal berikut. Anak-anak Abraha kemudian
menguasai Yaman dengan tindakan sewenang-wenang. Melihat bencana yang begitu
lama menimpa penduduk, Saif bin Dhi Yazan pergi hendak menemui Maharaja Rumawi.
Ia mengadukan hal itu kepadanya dan memintanya supaya mengirimkan penguasa lain
dan Rumawi ke Yaman. Tetapi karena adanya perjanjian persekutuan antara Kaisar
Yustinianus dengan Najasyi tidak mungkin ia dapat memenuhi permintaan Saif bin
Dhi Yazan itu. Oleh karena itu Saif meninggalkan Kaisar dan pergi menemui
Nu'man bin'l-Mundhir selaku Gubernur yang diangkat oleh Kisra untuk daerah Hira
dan sekitarnya di Irak.3
Nu'man dan Saif
bin Dhi Yazan bersama-sama datang menghadap Kisra Parvez. Waktu itu ia sedang
duduk dalam Ruangan Resepsi (Iwan Kisra) yang megah dihiasi oleh
lukisan-lukisan bimasakti pada bagian tahta itu. Di tempat musim dinginnya
bagian ini dikelilingi dengan tabir-tabir dari bulu binatang yang mewah sekali.
Di tengah-tengah itu bergantungan lampu-lampu kendil terbuat daripada perak dan
emas dan diisi penuh dengan air tawar. Di atas tahta itulah terletak mahkotanya
yang besar berhiaskan batu delima, kristal dan mutiara bertali emas dan perak,
tergantung dengan rantai dari emas pula. Ia sendiri memakai pakaian serba emas.
Setiap orang yang memasuki tempat itu akan merasa terpesona oleh kemegahannya.
Demikian juga halnya dengan Saif bin Dhi Yazan.
Kisra menanyakan
maksud kedatangannya itu dan Saifpun bercerita tentang kekejaman Abisinia di
Yaman. Sungguhpun pada mulanya Kisra Parvez ragu-ragu, tetapi kemudian ia
mengirimkan juga pasukannya di bawah pimpinan Wahraz (Syahrvaraz?), salah
seorang keluarga ningrat Persia yang paling berani. Persia telah mendapat
kemenangan dan orang-orang Abisinia dapat diusir dari Yaman yang sudah
didudukinya selama 72 tahun itu.
Sejak itulah Yaman
berada di bawah kekuasaan Persia, dan ketika Islam lahir seluruh daerah Arab
itu berada dalam naungan agama baru ini.
Akan tetapi
orang-orang asing yang telah menguasai Yaman itu tidak langsung di bawah
kekuasaan Raja Persia. Terutama hal itu terjadi setelah Syirawih (Shiruya
Kavadh II) membunuh ayahnya, Kisra Parvez, dan dia sendiri menduduki takhta. Ia
membayangkan - dengan pikirannya yang picik itu bahwa dunia dapat dikendalikan
sekehendaknya dan bahwa kerajaannya membantu memenuhi kehendaknya yang sudah
hanyut dalam hidup kesenangan itu. Masalah-masalah kerajaan banyak sekali yang
tidak mendapat perhatian karena dia sudah mengikuti nafsunya sendiri. Ia pergi
memburu dalam suatu kemewahan yang belum pernah terjadi Ia berangkat diiringi
oleh pemuda-pemuda ningrat berpakaian merah, kuning dan lembayung, dikelilingi
oleh pengiring-pengiring yang membawa burung elang dan harimau yang sudah
dijinakkan dan ditutup moncongnya; oleh budak-budak yang membawa wangi-wangian,
oleh pengusir-pengusir lalat dan pemain-pemain musik. Supaya merasa dirinya
dalam suasana musim semi sekalipun sebenarnya dalam musim dingin yang berat, ia
beserta rombongannya duduk di atas permadani yang lebar dilukis dengan
lorong-lorong, ladang dan kebun yang ditanami bunga-bungaan aneka warna, dan
dilatarbelakangi oleh semak-semak, hutan hijau serta sungai-sungai berwarna
perak.
Tetapi sungguhpun
Syirawih begitu jauh mengikuti kesenangannya, kerajaan Persia tetap dapat
mempertahankan kemegahannya, dan tetap merupakan lawan yang kuat terhadap
kekuasaan Bizantium dan penyebaran Kristen. Sekalipun dengan naik tahtanya
Syirawih ini telah mengurangi kejayaan kerajaannya, ia telah memberi kesempatan
kepada kaum Muslimin memasuki negerinya dan menyebarkan Islam.
Yaman yang telah
dijadikan gelanggang pertentangan sejak abad ke-4 itu sebenarnya telah
meninggalkan bekas yang dalam sekali dalam sejarah Semenanjung Arab dari segi
pembagian penduduknya. Disebutkan bahwa Bendungan Ma'rib yang oleh suku-bangsa
Himyar telah dimanfaatkan untuk keuntungan negerinya, telah hancur pula dilanda
banjir besar. Disebabkan oleh adanya pertentangan yang terus-menerus itu,
lalailah mereka yang harus selalu mengawasi dan memeliharanya. Bendungan itu
lapuk dan tidak tahan lagi menahan banjir. Dikatakan juga, bahwa setelah Rumawi
melihat Yaman menjadi pusat pertentangan antara kerajaannya dengan Persia dan
bahwa perdagangannya terancam karena pertentangan itu, iapun menyiapkan
armadanya menyeberangi Laut Merah - antara Mesir dengan negeri-negeri Timur
yang jauh - guna menarik perdagangan yang dibutuhkan oleh negerinya. Dengan
demikian tidak perlu lagi ia menempuh jalan kafilah.
Mengenai
peristiwanya, ahli-ahli sejarah sependapat, tetapi mengenai sebab terjadinya
peristiwa itu mereka berlainan pendapat. Peristiwanya ialah mengenai pindahnya
kabilah Azd di Yaman ke Utara. Semua mereka sependapat tentang kepindahan ini,
sekalipun sebagian menghubungkannya dengan sepinya beberapa kota di Yaman
karena mundurnya perdagangan yang biasa melalui tempat itu. Yang lain
menghubung-hubungkan kepada rusaknya bendungan Ma'rib, sehingga banyak di
antara kabilah-kabilah yang pindah karena takut binasa. Tetapi apapun juga
kejadiannya, namun adanya imigrasi ini telah menyebabkan Yaman jadi berhubungan
dengan negeri-negeri Arab lainnya, suatu hubungan keturunan dan percampuran
yang sampai sekarang masih dicoba oleh para sarjana menyelidikinya.
Apabila sistem
politik di Yaman sudah menjadi kacau seperti yang dapat kita saksikan, yang
disebabkan oleh keadaan yang menimpa negeri itu serta dijadikannya tempat itu
medan pertarungan, maka struktur politik serupa itu tidak dikenal pada beberapa
negeri Semenanjung Arab lainnya waktu itu. Segala macam sistem yang dapat
dianggap sebagai suatu sistem politik seperti pengertian kita sekarang atau
seperti pengertian negara-negara yang sudah maju pada masa itu, di daerah-daerah
seperti Tihama, Hijaz, Najd dan sepanjang dataran luas yang meliputi
negeri-negeri Arab, pengertian demikian itu belum dikenal. Anak negeri pada
masa itu bahkan sampai sekarang adalah penduduk pedalaman yang tidak biasa di
kota-kota. Mereka tidak betah tinggal menetap di suatu tempat. Yang mereka
kenal hanyalah hidup mengembara selalu, berpindah-pindah mencari padang rumput
dan menuruti keinginan hatinya. Mereka tidak mengenal hidup cara lain selain
pengembaraan itu.
Seperti juga di
tempat-tempat lain, di sinipun dasar hidup pengembaraan itu ialah kabilah.
Kabilah-kabilah yang selalu pindah dan mengembara itu tidak mengenal suatu
peraturan atau tata-cara seperti yang kita kenal. Mereka hanya mengenal
kebebasan pribadi, kebebasan keluarga dan kebebasan kabilah yang penuh. Sedang
orang kota, atas nama tata-tertib mau mengalah dan membuang sebagian
kemerdekaan mereka untuk kepentingan masyarakat dan penguasa, sebagai imbalan
atas ketenangan dan kemewahan hidup mereka. Sedang seorang pengembara tidak pedulikan
kemewahan, tidak betah dengan ketenangan hidup menetap, juga tidak tertarik
kepada apapun - seperti kekayaan yang menjadi harapan orang kota - selain
kebebasannya yang mutlak. Ia hanya mau hidup dalam persamaan yang penuh dengan
anggota-anggota kabilahnya atau kabilah-kabilah lain sesamanya. Dasar
kehidupannya ialah seperti makhluk-makhluk lain, mau survive, mau bertahan
terus sehingga sesuai dengan kaidah-kaidah kehormatannya yang sudah ditanamkan
dalam hidup mengembara yang serba bebas itu.
Oleh karena itu,
kaum pengembara tidak menyukai tindakan ketidak-adilan yang ditimpakan kepada
mereka. Mereka mau melawannya mati-matian, dan kalau tidak dapat melawan,
ditinggalkannya tempat tinggal mereka itu, dan mereka mengembara lagi ke
seluruh jazirah, bila memang terpaksa harus demikian.
Juga itu pula
sebabnya, perang adalah jalan yang paling mudah bagi kabilah-kabilah ini bila
harus juga timbul perselisihan yang tidak mudah diselesaikan dengan cara yang
terhormat. Karena bawaan itu juga, maka tumbuhlah di kalangan sebagian besar
kabilah-kabilah itu sifat-sifat harga diri, keberanian, suka tolong-menolong,
melindungi tetangga serta sikap memaafkan sedapat mungkin dan semacamnya.
Sifat-sifat ini akan makin kuat apabila semakin dekat ia kepada kehidupan pedalaman,
dan akan makin hilang apabila semakin dekat ia kepada kehidupan kota.
Seperti kita
sebutkan, karena faktor-faktor ekonomi juga, baik Rumawi maupun Persia, hanya
merasa tertarik kepada Yaman saja dari antara jazirah lainnya yang memang tidak
mau tunduk itu. Mereka lebih suka meninggalkan tanah air daripada tunduk kepada
perintah. Baik pribadi-pribadi atau kabilah-kabilah tidak akan taat kepada
peraturan apapun yang berlaku atau kepada lembaga apapun yang berkuasa.
Sifat-sifat
pengembaraan itu cukup mempengaruhi daerah yang kecil-kecil yang tumbuh di
sekitar jazirah karena adanya perdagangan para kafilah, seperti yang sudah kita
terangkan. Daerah-daerah ini dipakai oleh para pedagang sebagai tempat
beristirahat sesudah perjalanan yang begitu meletihkan. Di situ mereka bertemu
dengan tempat-tempat pemujaan sang dewa guna memperoleh keselamatan bagi mereka
serta menjauhkan marabahaya gurun sahara serta mengharapkan perdagangan mereka
selamat sampai di tempat tujuan.
Kota-kota seperti
Mekah, Ta'if, Yathrib dan yang sejenis itu seperti wahah-wahah (oase) yang
terserak di celah-celah gunung atau gurun pasir, terpengaruh juga oleh
sifat-sifat pengembaraan demikian itu. Dalam susunan kabilah serta
cabang-cabangnya, perangai hidup, adat-istiadat serta kebenciannya terhadap
segala yang membatasi kebebasannya lebih dekat kepada cara hidup pedalaman
daripada kepada cara-cara di kota, sekalipun mereka dipaksa oleh sesuatu cara
hidup yang menetap, yang tentunya tidak sama dengan cara-hidup pedalaman. Dalam
pembicaraan tentang Mekah dan Yathrib pada pasal berikut ini akan terlihat agak
lebih terperinci.
Sebabnya Jazirah
Bertahan Pada Paganisma
Lingkungan
masyarakat dalam alam demikian ini serta keadaan moral, politik dan sosial yang
ada pada mereka, mempunyai pengaruh yang sama terhadap cara beragamanya.
Melihat hubungannya dengan agama Kristen Rumawi dan Majusi Persia, adakah Yaman
dapat terpengaruh oleh kedua agama itu dan sekaligus mempengaruhi kedua agama
tersebut di jazirah Arab lainnya? Ini juga yang terlintas dalam pikiran kita,
terutama mengenai agama Kristen. Misi Kristen yang ada pada masa itu sama
giatnya seperti yang sekarang dalam mempropagandakan agama. Pengaruh pengertian
agama dalam jiwa serta cara hidup kaum pengembara tidak sama dengan orang kota.
Dalam kehidupan kaum pengembara manusia berhubungan dengan alam, ia merasakan
adanya wujud yang tak terbatas dalam segala bentuknya. Ia merasa perlu mengatur
suatu cara hidup antara dirinya dengan alam dengan ketak-terbatasannya itu.
Sedang bagi orang kota ketak-terbatasan itu sudah tertutup oleh kesibukannya
hari-hari, oleh adanya perlindungan masyarakat terhadap dirinya sebagai imbalan
atas kebebasannya yang diberikan sebagian kepada masyarakat, serta kesediaannya
tunduk kepada undang-undang penguasa supaya memperoleh jaminan dan hak
perlindungan. Hal ini menyebabkannya tidak merasa perlu berhubungan dengan yang
di luar penguasa itu, dengan kekuatan alam yang begitu dahsyat terhadap
kehidupan manusia. Hubungan jiwa dengan unsur-unsur alam yang di sekitarnya
jadi berkurang.
Dalam keadaan
serupa ini, apakah yang telah diperoleh Kristen dengan kegiatannya yang begitu
besar sejak abad-abad permulaan dalam menyebarkan ajaran agamanya itu?
Barangkali soalnya hanya akan sampai di situ saja kalau tidak karena adanya
soal-soal lain yang menyebabkan negeri-negeri Arab itu, termasuk Yaman, tetap
bertahan pada paganisma agama nenek-moyangnya, dan hanya beberapa kabilah saja
yang mau menerima agama Kristen.
Manifestasi
peradaban dunia yang paling jelas pada masa itu - seperti yang sudah kita
saksikan - berpusat di sekitar Laut Tengah dan Laut Merah. Agama-agama Kristen
dan Yahudi bertetangga begitu dekat sekitar tempat itu. Kalau keduanya tidak
memperlihatkan permusuhan yang berarti, juga tidak memperlihatkan persahabatan
yang berarti pula. Orang-orang Yahudi masa itu dan sampai sekarang juga masih
menyebut-nyebut adanya pembangkangan dan perlawanan Nabi Isa kepada agama
mereka. Dengan diam-diam mereka bekerja mau membendung arus agama Kristen yang
telah mengusir mereka dari Palestina, dan yang masih berlindung dibawah panji
Imperium Rumawi yang membentang luas itu.
Orang-orang Yahudi
di negeri-negeri Arab merupakan kaum imigran yang besar, kebanyakan mereka
tinggal di Yaman dan Yathrib. Di samping itu kemudian agama Majusi (Mazdaisma)
Persia tegak menghadapi arus kekuatan Kristen supaya tidak sampai menyeberangi
Furat (Euphrates) ke Persia, dan kekuatan moril demikian itu didukung oleh
keadaan paganisma di mana saja ia berada. Jatuhnya Rumawi dan hilangnya
kekuasaan yang di tangannya, ialah sesudah pindahnya pusat peradaban dunia itu
ke Bizantium.
Gejala-gejala
kemunduran berikutnya ialah bertambah banyaknya sekta-sekta Kristen yang sampai
menimbulkan pertentangan dan peperangan antara sesama mereka. Ini membawa
akibat merosotnya martabat iman yang tinggi ke dalam kancah perdebatan tentang
bentuk dan ucapan, tentang sampai di mana kesucian Mariam: adakah ia yang lebih
utama dari anaknya Isa Almasih atau anak yang lebih utama dari ibu - suatu
perdebatan yang terjadi di mana-mana, suatu pertanda yang akan membawa akibat
hancurnya apa yang sudah biasa berlaku.
Ini tentu
disebabkan oleh karena isi dibuang dan kulit yang diambil, dan terus menimbun
kulit itu di atas isi sehingga akhirnya mustahil sekali orang akan dapat
melihat isi atau akan menembusi timbunan kulit itu.
Apa yang telah
menjadi pokok perdebatan kaum Nasrani Syam, lain lagi dengan yang menjadi
perdebatan kaum Nasrani di Hira dan Abisinia. Dan orang-orang Yahudipun,
melihat hubungannya dengan orang-orang Nasrani, tidak akan berusaha mengurangi
atau menenteramkan perdebatan semacam itu. Oleh karena itu sudah wajar pula
orang-orang Arab yang berhubungan dengan kaum Nasrani Syam dan Yaman dalam
perjalanan mereka pada musim dingin atau musim panas atau dengan orang-orang
Nasrani yang datang dari Abisinia, tetap tidak akan sudi memihak salah satu di
antara golongan-golongan itu. Mereka sudah puas dengan kehidupan agama berhala
yang ada pada mereka sejak mereka dilahirkan, mengikuti cara hidup nenek-moyang
mereka.
Oleh karena itu,
kehidupan menyembah berhala itu tetap subur di kalangan mereka, sehingga
pengaruh demikian inipun sampai kepada tetangga-tetangga mereka yang beragama
Kristen di Najran dan agama Yahudi di Yathrib, yang pada mulanya memberikan
kelonggaran kepada mereka, kemudian turut menerimanya. Hubungan mereka dengan
orang-orang Arab yang menyembah berhala untuk mendekatkan diri kepada Tuhan itu
baik-baik saja.
Yang menyebabkan
orang-orang Arab itu tetap bertahan pada paganismanya bukan saja karena ada
pertentangan di antara golongan-golongan Kristen. Kepercayaan paganisma itu
masih tetap hidup di kalangan bangsa-bangsa yang sudah menerima ajaran Kristen.
Paganisma Mesir dan Yunani masih tetap berpengaruh ditengah-tengah pelbagai
mazhab yang beraneka macam dan di antara pelbagai sekta-sekta Kristen sendiri.
Aliran Alexandria dan filsafat Alexandria masih tetap berpengaruh, meskipun
sudah banyak berkurang dibandingkan dengan masa Ptolemies dan masa permulaan
agama Masehi. Bagaimanapun juga pengaruh itu tetap merasuk ke dalam hati
mereka. Logikanya yang tampak cemerlang sekalipun pada dasarnya masih bersifat
sofistik - dapat juga menarik kepercayaan paganisma yang polytheistik, yang
dengan kecintaannya itu dapat didekatkan kepada kekuasaan manusia.
Saya kira inilah
yang lebih kuat mengikat jiwa yang masih lemah itu pada paganisma, dalam setiap
zaman, sampai saat kita sekarang ini. Jiwa yang lemah itu tidak sanggup
mencapai tingkat yang lebih tinggi, jiwa yang akan menghubungkannya pada
semesta alam sehingga ia dapat memahami adanya kesatuan yang menjelma dalam
segala yang lebih tinggi, yang sublim dari semua yang ada dalam wujud ini,
menjelma dalam Wujud Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan demikian itu hanya sampai
pada suatu manifestasi alam saja seperti matahari, bulan atau api misalnya.
Lalu tak berdaya lagi mencapai segala yang lebih tinggi, yang akan
memperlihatkan adanya manifestasi alam dalam kesatuannya itu.
Bagi jiwa yang
lemah ini cukup hanya dengan berhala saja. Ia akan membawa gambaran yang masih
kabur dan rendah tentang pengertian wujud dan kesatuannya. Dalam hubungannya
dengan berhala itu lalu dilengkapi lagi dengan segala gambaran kudus, yang
sampai sekarang masih dapat kita saksikan di seluruh dunia, sekalipun dunia
yang mendakwakan dirinya modern dalam ilmu pengetahuan dan sudah maju pula
dalam peradaban. Misalnya mereka yang pernah berziarah ke gereja Santa Petrus
di Roma, mereka melihat kaki patung Santa Petrus yang didirikan di tempat itu
sudah bergurat-gurat karena diciumi oleh penganut-penganutnya, sehingga setiap
waktu terpaksa gereja memperbaiki kembali mana-mana yang rusak.
Melihat semua itu
kita dapat memaklumi. Mereka belum nmendapat petunjuk Tuhan kepada iman yang
sebenarnya Mereka melihat pertentangan-pertentangan kaum Kristen yang menjadi
tetangga mereka serta cara-cara hidup paganisma yang masih ada pada mereka, di
tengah-tengah mereka sendiri yang masih menyembah berhala itu sebagai warisan
dari nenek-moyang mereka. Betapa kita tak akan memaafkan mereka. Situasi
demikian ini sudah begitu berakar di seluruh dunia, tak putus-putusnya sampai
saat ini, dan saya kira memang tidak akan pernah berakhir. Kaum Muslimin dewasa
inipun membiarkan paganisma itu dalam agama mereka, agama yang datang hendak menghapus
paganisma, yang datang hendak menghilangkan segala penyembahan kepada siapa
saja selain kepada Allah Yang Maha Esa.
Cara-cara
penyembahan berhala orang-orang Arab dahulu itu banyak sekali macamnya. Bagi
kita yang mengadakan penyelidikan dewasa ini sukar sekali akan dapat mengetahui
seluk-beluknya. Nabi sendiri telah menghancurkan berhala-berhala itu dan
menganjurkan para sahabat menghancurkannya di mana saja adanya. Kaum Muslimin
sudah tidak lagi bicara tentang itu sesudah semua yang berhubungan dengan
pengaruh itu dalam sejarah dan lektur dihilangkan. Tetapi apa yang disebutkan
dalam Quran dan yang dibawa oleh ahli-ahli sejarah dalam abad kedua Hijrah -
sesudah kaum Muslimin tidak lagi akan tergoda karenanya - menunjukkan, bahwa
sebelum Islam paganisma dalam bentuknya yang pelbagai macam, mempunyai tempat
yang tinggi.
Di samping itu
menunjukkan pula bahwa kekudusan berhala-berhala itu bertingkat-tingkat adanya.
Setiap kabilah atau suku mempunyai patung sendiri sebagai pusat penyembahan.
Sesembahan-sesembahan zaman jahiliah inipun berbeda-beda pula antara sebutan
shanam (patung), wathan (berhala) dan nushub. Shanam ialah dalam bentuk manusia
dibuat dari logam atau kayu, Wathan demikian juga dibuat dari batu, sedang
nushub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Beberapa kabilah
melakukan cara-cara ibadahnya sendiri-sendiri. Mereka beranggapan batu karang
itu berasal dari langit meskipun agaknya itu adalah batu kawah atau yang serupa
itu. Di antara berhala-berhala yang baik buatannya agaknya yang berasal dari
Yaman. Hal ini tidak mengherankan. Kemajuan peradaban mereka tidak dikenal di
Hijaz, Najd atau di Kinda. Sayang sekali, buku-buku tentang berhala ini tidak
melukiskan secara terperinci bentuk-bentuk berhala itu, kecuali tentang Hubal
yang dibuat dari batu akik dalam bentuk manusia, dan bahwa lengannya pernah
rusak dan oleh orang-orang Quraisy diganti dengan lengan dari emas. Hubal ini
ialah dewa orang Arab yang paling besar dan diletakkan dalam Ka'bah di Mekah.
Orang-orang dari semua penjuru jazirah datang berziarah ke tempat itu.
Tidak cukup dengan
berhala-berhala besar itu saja buat orang-orang Arab guna menyampaikan
sembahyang dan memberikan kurban-kurban, tetapi kebanyakan mereka itu mempunyai
pula patung-patung dan berhala-berhala dalam rumah masing-masing. Mereka
mengelilingi patungnya itu ketika akan keluar atau sesudah kembali pulang, dan
dibawanya pula dalam perjalanan bila patung itu mengijinkan ia bepergian. Semua
patung itu, baik yang ada dalam Ka'bah atau yang ada di sekelilingnya, begitu
juga yang ada di semua penjuru negeri Arab atau kabilah-kabilah dianggap
sebagai perantara antara penganutnya dengan dewa besar. Mereka beranggapan
penyembahannya kepada dewa-dewa itu sebagai pendekatan kepada Tuhan dan
menyembah kepada Tuhan sudah mereka lupakan karena telah menyembah
berhala-berhala itu.
Meskipun Yaman
mempunyai peradaban yang paling tinggi di antara seluruh jazirah Arab, yang
disebabkan oleh kesuburan negerinya serta pengaturan pengairannya yang baik,
namun ia tidak menjadi pusat perhatian negeri-negeri sahara yang terbentang
luas itu, juga tidak menjadi pusat keagamaan mereka. Tetapi yang menjadi pusat
adalah Mekah dengan Ka'bah sebagai rumah Ismail. Ke tempat itu orang berkunjung
dan ke tempat itu pula orang melepaskan pandang. Bulan-bulan suci sangat
dipelihara melebihi tempat lain.
Oleh karena itu,
dan sebagai markas perdagangan jazirah Arab yang istimewa, Mekah dianggap
sebagai ibukota seluruh jazirah. Kemudian takdirpun menghendaki pula ia menjadi
tanah kelahiran Nabi Muhammad, dan dengan demikian ia menjadi sasaran pandangan
dunia sepanjang zaman. Ka'bah tetap disucikan dan suku Quraisy masih menempati
kedudukan yang tinggi, sekalipun mereka semua tetap sebagai orang-orang Badwi
yang kasar sejak berabad-abad lamanya.
Catatan kaki:
[1] Dikutip oleh
Sir Muir dalam The Life of Mohammad, p.xc.
[2] Cerita
demikian terdapat dalam beberapa buku sejarah. Encylopedia Britannica juga
menyebutnya, dan dikutip oleh penulis-penulis buku Historian's History of the
World dan juga dijadikan pegangan oleh Emile Derminghem dalam la Vie de
Mahomet. Akan tetapi At-Tabari menceritakan melalui Hisyam ibn Muhammad bahwa
setelah orang Yaman itu pergi meminta bantuan Najasyi atas perbuatan Dhu Nuwas
serta menjelaskan apa yang telah dilakukannya terhadap orang-orang Kristen oleh
pembela agama Yahudi itu dan memperlihatkan sebuah Injil yang sudah sebagian
dimakan api, Najasyi berkata: "Tenaga manusia di sini banyak, tapi aku
tidak punya kapal. Sekarang aku menulis surat kepada Kaisar supaya mengirimkan
kapal dan dengan itu akan kukirimkan pasukanku." Lalu ia menulis surat
kepada Kaisar dengan melampirkan Injil yang sudah terbakar. Dan menambahkan:
"Hisyam ibn Muhammad menduga, bahwa setelah kapal-kapal itu sampai ke
tempat Najasyi, pasukannyapun dinaikkan dan berangkat ke pantai Mandab."
Lihat Tarikh't-Tabari cetakan Al-Husainia, vol. 2, p. 106 dan 108.
[3] Beberapa
keterangan dalam buku-buku sejarah berbeda-beda tentang sebab penyerbuan
Abisinia (Habasya) ini ke Yaman. Keterangan itu mengatakan, bahwa hubungan
dagang antara Arab Musta'riba di Hijaz dengan Yaman dan Abisinia terus
berlangsung. Pada waktu itu pantai-pantai Habasya membentang sepanjang Laut
Merah lengkap dengan armada perdagangannya. Karena kekayaan dan kesuburannya,
Kerajaan Rumawi ingin sekali menguasai Yaman. Aelius Galius penguasa (prefek)
Kaisar Rumawi di Mesir mengadakan persiapan. akan menyerbu Yaman. Pasukannya
dikerahkan menyeberangi Laut Merah ke Yaman dan juga menyerang Najran. Tetapi
karena adanya penyakit yang menyerang mereka. Orang-orang Yaman mudah sekali
mengusir mereka itu dan merekapun kembali ke Mesir. Sesudah itupun Rumawi
berturut-turut menyerang jazirah Arab di Yaman dan di luar Yaman, tapi
kenyataannya tidak lebih menguntungkan dan yang pernah dilakukan oleh Galius.
Saat itu Najasyi di Abisinia merasa perlu mengadakan pembalasan terhadap Yaman
yang telah memaksakan agama Yahudi terhadap orang-orang Rumawi yang beragama
Kristen. Pasukan Aryat dikerahkan menyerbu Yaman dan berkuasa di tempat itu
sampai pada waktu Persia datang mengusir mereka.
TIGA SENDI AJARAN ISLAM
SOAL:
Seperti yg sering dijelaskan,bahwa ada tiga hal pedoman ajaran yg menjadi standar ASWAJA ,ya'ni Tauhid (Aqidah),Fiqih dan Tashowwuf.Ini seolah-olah ingin mengatakan bahwa inti ajaran dalam agama Islam adalah tiga hal tersebut.Bagaimanakah hal itu sebenarnya??
JAWABAN:
Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya melihat Hadits Nabi Muhammad SAW yg menjelaskan tiga hal yg menjadi prinsip utama dalam agama yg di bawa Nabi Muhammad SAW .Dalam sebuah hadist di jelaskan:
عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال بينما نحن عند رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات يوم اذ طلع علينا رجل شديد بياض الثياب,شديد سواد الشعر لايري عليه أثر السفر ولا يعرفه منا أحد حتي جلس الى النبي صلى الله عليه وسلم فأسند ركبتيه الى ركبتيه ووضع كفيه على فخيذيه وقال يا محمد أخبرني عن الاسلام ؟فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم "الاسلام ان تشهد أن لا اله الا الله وأن محمدا رسول الله وتقيم الصلاة وتؤتي الزكاة وتصوم رمضان وتحج البيت ان استطعت اليه سبيلا قال صدقت .قال فعجبنا له يسأله ويصدقه ,قال فأخبرني عن الايمان ؟ قال أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الاخر وتؤمن بالقدر خيره وشره قال صدقت ,قال فأخبرني عن الاحسان ؟قال أن تعبد الله كأنك تراه وان لم تكن تراه فأنه يراك.......قال ثم انطلق فلبثت مليا ثم قال لي يا عمر اتدري من السائل قلت الله ورسوله اعلم قال فأنه جبريل أتاكم يعلمكم دينكم (صحيح مسلم رقم 9 ) .... أه
"Dari Umar bin Khothob RA," berkata Pada suatu hari kami berkumpul bersama Rosululloh SAW,tiba-tiba datang seorang laki-laki yg bajunya sangat putih,rambutnya sangat hitam .Tidak kelihatan tanda-tanda kalau dia melakukan perjalanan jauh ,dan tak seorangpun dari kami yang mengenalnya.Laki-laki itu lalu duduk di hadapan Nabi SAW sambil menempelkan lututnya pada lutut Nabi SAW.Sedangkan kedua tangannya di letakan di atas paha Nabi SAW .Laki-laki itu bertanya "Wahai Muhammad beritahukanlah aku tentang Islam " Rosululloh SAW menjawab," Islam adalah kami bersaksi tiada Tuhan selain Alloh SWT dan Muhammad adalah utusan Alloh SWT,mengerjakan Sholat menunaikan zakat,puasa pada bulan Romadlon dan kami Hajji ke baitulloh jika kamu telah mampu melaksanakanya."laki-laki itu menjawab "Kamu benar"Umar berkata "Kami heran pada laki-laki tersebut,ia bertanya tapi ia sendiri yg membenarkanya"Laki-laki itu bertanya lagi "Beritahukan aku tentant Iman "Nabi menjawab " Iman adalah engkau beriman kepada Alloh ,Malaikatnya,kitab-kitabnya,para Rosulnya,hari qiyamat dan Qodlo' Alloh SWT yg baik dan yg buruk "Laki-laki itu menjawab "benar kamu" Kemudian laki-laki itu bertanya lagi "Beritahukanlah aku tentang Ihsan ?"Nabi SAW menjawab "Ihsan adalah kamu menyembah Alloh SWT seolah-olah kamu melihatNya Jika kamu tidak dapat melihatNya,maka sesungguhnya Ia melihatmu.........kemudian orang itu pergi ,Setelah itu aku (Umar RA)diam beberapa saat ,kemudian Rosululloh bertanya kepada ku ,"Wahai Umar siapakah orang yang datang tadi ?Aku menjawab "Alloh SWT dan RosulNya lebih mengetahui.Nabi SAW lalu bersabda "Sesungguhnya laki-laki itu adalah Jibril AS,Ia datang untuk mengajarkan agamamu ". (Shohih Muslim 9)
memperhatikan hadits itu maka ada tiga hal penting yg menjadi inti dari agama yg Nabi SAW ajarkan ,ya'ni Islam ,Iman dan Ihsan.Ketiga hal ini merupakan satu kesatuan utuh yg tidak bisa di pisahkan antara yg satu dengan yg lainya.Dalam pengamalan kehidupan beragama tiga perkara itu harus di terapkan secara bersamaan tanpa melakukan perbedaan.Seorang muslim tidak diperkenankan selalu mementingkan aspek Iman dan meninggalkan dimensi Ihsan dan Islam dan begitu seterusnya...........Bersambung..........
Sambungan..........
Sebagaiman Firman Alloh SWT :
"Hai orang-orang yang beriman,masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhanya,dan janganlah kamu turut langkah-langkah syetan.Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu (Q.S Al-Baqoroh ,208).
Sambungan..........
Sebagaiman Firman Alloh SWT :
يأيهالذين امنوا ادخلوا في السلم كافة ولا تتبعوا خطوات الشيطان انه لكم عدو مبين (البقرة ,208 ) اه
"Hai orang-orang yang beriman,masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhanya,dan janganlah kamu turut langkah-langkah syetan.Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu (Q.S Al-Baqoroh ,208).
Semula
ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi.Namun
perkembangan selanjutnya para Ulama mengadakan pemisahan tiga hal
tersebut.Sehingga menjadi bahagian ilmu tersendiri.KH Ahmad Syidiq
mengemukakan beberapa alasan yang melandasi pemisahan tersebut.Pertama
karena kecenderungan manusia yang selalu memperhatikan yang juz'iyyah
((bagian-bagian/parsial),setelah melihat secara kulliyah (keseluruhan/
global),atau kecenderungan pada diri manusia yang ingin merinci sesuatu
yang global dan pada giliranya mengutuhkan kembali sesuatu yang
terperinci tersebut.Kedua:pengaruh perkembangan ilmu dan
metodologi ilmu pengetahuan,dimana pengetahuan tehadap suatu bagian ilmu
serig di kembangakn sedemikian rupa sehingga menjadi suatu cabang ilmu
pengetahuan yang terpisah dari yg lainya.Ketiga ,karena pengaruh perkembangan
.Hal ini dilakukan untuk menjawab kebutuhan zaman yg mengharuskan
adanya penghususan (spesifikasi) terhadap beberapa disiplin keilmuan
,sehingga dapat mempermudah untuk dipelajari.(Pemikiran KH Ahmad
Siddiq,2)
Ketika melakukan
pemisahan tersebut,para Ulama berusaha merumuskan batasan dari ketiga
hal itu 'Izzuddin bin Abdissalam mencoba menguraikanya,sebagaimana yg di
kutib oleh DR.Bakr Isma'il dalam kitab al-Fiqh Wadlih :
قال
عز الدين بن عبد السلام في كتابه النفيس "زبدة خلاصة التصوف " الاسلام
قيام البدن بوظائف الاحكام ,والايمان هو قيام القلب بوظائف الاستسلام
والاحسان قيام الروح بمشاهدة الملك العلام (الفقه الواضح من الكتاب والسنة
.ج 1 ص 13 ) اه
"Izzuddin
bin Abdissalam menjelaskan dalam kitabnya yg indah,"Zubdah Khulashoh
at-Thasawwuf "bahwa Islam (dalam arti yg sempit pen..)adalah pelaksanaan
beberapa hukum oleh anggota badan,Iman adalah pengakuan hati dengan
tugas kepatuhan kepda Alloh SWT,dan Ihsan adalah kesadaran jiwa untuk
selau melihat kebesaran tuhan yang maha kuasa dan Maha Mengetahui "
(al-Fiqh al-Wadlih min al-Kitab al-Sunnah ,juz 1 ,hal 13)
2 komentar:
1.PENJELASAN TENTANG ASWAJA.
SOAL.
kONSEP ASWAJA (Ahlussunnah Waljama'ah)selama ini masih belum di pahami secara tuntas ,sehingga menjadi "rebutan"setiap golongan.Semua kelompok mengaku dirinya sebagai penganut ajaran Aswaja.Tidak jarang label itu di gunakan untuk kepentingan sesaat .Jadi,apakah yang di maksud dengan Aswaja itu sebenarnya?Bagamana pula dengan klaim itu,dapakah di benarkan?
JAWABAN
Aswaja merupakan singkatan dari istilah Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah.Ada tiga kata yang membentuk istilah tersebut.
1.Ahl,berarti keluarga,golongan atau pengikut
2.Al-Sunnah,yaitu segala sesuatu yang telah di
ajarkan olehRosululloh SAW.
3.Al-Jama'ah,ya'ni apa yang telah di sepakati oleh para Sahabat Rosul SAW pada masa al-Khulafa' al-Roshidin (Abu Bakar RA, Umar bin Khotob RA,Utsman bin Afan RA dan Ali bin Abi Tholib RA)
Sebagaimana telah di kemukakan oleh Syeh Abdul Qodir al-Jailany dalam kitabnya al-Ghunyah li TholibiThoroq Alhaq:
"Yang di maksuddengan al-Sunnah adalah apa yang telah di ajarkan oleh Rosululloh SAW (meliputi ucapan,perilaku,serta ketetapan beliau).Sedangkan pengertian al-Jama'ah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para Sahabat Nabi Muhammad SAW pada masa al-Khulafa' al-Rosidin yang empat yang telah di beri hidayah (mudah2an Alloh memberi Rohmat kepadanya)".al-Ghunyah li Tholibi Thoriq al-Haqq.
Selanjutnya Syeh Abi al-Fadhl bin Abdussyakur menyebutkan dalam kitabal-Kawakibu al-Lama'ah:.
"Yang di sebut Ahl as-Sunnah wal Jama'ah adalah orang-orang yang selalu berpedoman pada sunnah Nabi SAW dan jalan para Sahabatnya dalam masalah Aqidah keagamaan,amal-amal lahiriyah serta akhlaq hati. (al-Kawakibu al-Lama'ah hal 8-9).
Jadi Ahl as-Sunnah wal Jama'ah merupakan ajaran yang mengikuti semua yang telah di contohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para Sahabatnya.Sebagai pembeda dengan yang lain,ada 3 ciri has kelompo ini,yakni 3 sikap yang selalu di ajarkan oleh Rosululloh SAW dan para Sahabatnya.Ketiga prinsip tersebut adalah "al-Tawashuth (sikap tengah-tengah,sedang-sedang ,tidak ekstrim kiri ataupun kanan),prinsip al-Tawazun (seimbanh dalam segala hal termasuk dalam menggunakan dalil 'Aqli dan Naqli).dan al-I'tidal (tegak lurus).
Ketiga prinsip tersebut dapat di lihat dalam masalah keyakinan keagamaan (teologi),perbuatan lahiriyah (Fiqih)serta masalah ahlaq yang mengatur gerak gerik hati (tashawuf).
Dalam praktek keseharian ,ajaran Ahl as-Sunnah wal Jama'ah di bidang teologi tercerminkan dalam rumusan yang di gagas oleh Imam Asy'ari dan Imam Almaturidi.Sedangkan dalam masalah perbuatan badaniyah termanifestasikan (terwujud) dengan mengikuti madzhab yang empat yakni madzhab Hanafi,Madzhab Maliki ,Madzhab Ssyafi'i dan Madzhab Hambali.Dalam Tashawuf mengikuti rumusan Imam Junaidi al-Baghdadi dan Imam al-Ghozali.
Salah satu alasan di pilihnya ulama-ulama tersebut oleh salafussholih ,sebagai panutan dalam al-Sunnah wal Jama'ah,karena mereka telah terbukti mampu membawa ajaran-ajaran yang sesuai dengan intisari agama Islam yang telah di gariskan oleh Nabi Muhammad SAW dan para Sahabatnya.Dan mengikuti hal tersebut merupakan suatu kuwajiban bagi umatnya.Nabi Bersabda:
"Dari Abdurrohman bin amr as-sulami sesungguhnya ia mendengar al-Irbadh bin Sariyah berkata "Rosululloh SAW berkata kalian wajib berpegang teguh pada sunnahku dan perilaku al-Khulafa' al Rosidin yang mendapatkan petunjuk " (musnad Ahmad bin Hambal ,16519)
Karena itu sebenarnya Ahl as _sunnah wal jama'ah adalah merupakan Islam yang murni sebagaiman yang di ajarkan olen Nabi Muhammad SAW dan sesuai dengan apa yang telah di gariskan dan di amalkan oleh para sahabatnya.
Ketika Rosululloh SAW menerangkan bahwa umatnya akan terpecah-pecah menjadi 73 golngan ,dengan tegas Nabi SAW menyatakan yang benar adalah mereka yang tetap berpedoman pada apa yang di perbuat oleh Nabi SAWdan para sahabatnya yang ada waktu itu.
Bersambung.. (oleh Ustadz M Dahlan Al-Hafidz Pengasuh Pontren Ummul Quro')
Sambungan....
Maka Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah sesungguhnya bukanlah aliran baru yang muncul sebagai reaksi dari beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran haqiqi agama Islam.Ahl as-Sunnah wa al-Jama'ah justru erusaha untuk menjaga agama Islam dari beberapa aliran yang akan mencerabut ajaran Islam dari akar dan pondasinya semula.Setelah aliran-aliran itu merajalela,tentu di perlukan suatu gerakan untuk mensosialisasikan dan mengembangkan kembali ajaran murni Islam.Sekaligus merupakan salah satu jalan untuk mempertahankan,memperjuangkan dan mengembalikan agama Islam agar sesuai dengan apa yang telah di ajarkan oleh Rosululloh SAW dan para sahabatnya.(Khithoh Nahdliyyah 19-20)
Jika sekarang banak kelompok yang mengaku dirinya termasuk Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah ,maka mereka harus membuktikanya dalam praktik keseharian bahwa ia benar-benar telah mengamalkan sunnah Rosululloh SAW dan sahabatnya.Abu Sa'id al-Khodimi berkata:
فأن قيل كل فرقة تدعي أنها أهل السنة والجماعة قلنا ذلك لايكون بالدعوى بل بتطبيق القول والفعل بالنسبة
الي زماننا انما يمكن بمطالبة صحاح الاحاديث ككتب الشيخين وغيرهما من الكتب التي اجمع علي وثاقتهن .(البريقةشرح الطريقة ص 111-112) اه
"(Jika ada yang bertanya) semua kelompok mengaku dirinya sebagai golongan Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah ,jawaban kami adalah :bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah itu bukan hanya klaim semata namun harus di wujudkan (diaplikasikan) dalam perbuatan dan ucapan .Pada zaman kita sekarang ini,perwujudan itu dapat di lihat dengan mengikuti apa yang tertera dalam hadist-hadist yang shohih seperti shohihul Bukhori ,shohihul Muslim dan kitab-kitab lainya yang mu'tabar.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat di rumuskan bahwa Ahl as-Sunnas wa al-Jama'ah merupakan ajaran yang sesuai dengan apa yang telah di gariskan oleh Rosululloh SAW dan para sahabatnya.Dan itu tidak bisa hanya sebatas klaim semata ,namun harus di buktikan dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari.
(oleh Ustadz M Dahlan Al-Hafidz Pengasuh Pontren Ummul Quro')
Posting Komentar